Rabu, 23 APRIL 2025 • 13:00 WIB

Mengenal Tjipto Mangoenkoesoemo: Pahlawan Pergerakan Salah Satu Tokoh 3 Serangkai

Author

Tjipto Mangoenkoesoemo, yang lebih dikenal sebagai Cipto Mangunkusumo, lahir pada 4 Maret 1886 di Desa Pecangakan, Jepara, Jawa Tengah.

INDOZONE.ID - Tjipto Mangoenkoesoemo, yang lebih dikenal sebagai Cipto Mangunkusumo, lahir pada 4 Maret 1886 di Desa Pecangakan, Jepara, Jawa Tengah. Ia adalah putra tertua dari Mangunkusumo, seorang pejabat dan guru di Jepara.

Sejak kecil, Cipto menunjukkan kecerdasan dan minat yang besar terhadap pendidikan. Pada usia enam tahun, ia mulai bersekolah di Europeesche Lagere School, sebuah sekolah dasar untuk pribumi yang dikelola oleh pemerintah Belanda.

Di sekolah ini, Cipto dikenal sebagai siswa yang cerdas dan rajin, berhasil lulus dengan nilai terbaik di antara teman-temannya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Cipto melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA), di mana ia semakin menonjol.

Di STOVIA, ia dikenal sebagai "Een begaafd leerling" atau murid berbakat, berkat sikap jujur, berpikiran tajam, dan kerja kerasnya. Cipto tidak hanya fokus pada pelajaran medis; ia juga aktif terlibat dalam diskusi dan ceramah mengenai berbagai isu sosial dan politik.

Baca Juga: Ajian Jolo Sutro: Ilmu Pengasihan yang Nggak Cuma Bikin Jatuh Cinta, Tapi Juga Membersihkan Hati

Ketidakpuasan terhadap peraturan yang diskriminatif di sekolah, seperti kewajiban berpakaian tradisional bagi mahasiswa non-Kristen, memicu ketertarikan politiknya. Cipto mendapatkan gelar “Dokter Rakyat”, karena dia menggunakan Ilmu yang dia pelajari di STOVIA untuk membantu sesama.

Pergerakan Sampai Pengasingan

Selain berperan sebagai dokter bagi rakyat, Cipto Mangunkusumo juga aktif menulis di harian Belanda, De Locomotief, sejak tahun 1907. Dalam tulisannya, ia secara tegas mengkritik kebijakan kolonial yang dianggap merugikan kaum pribumi, termasuk diskriminasi rasial dan ketidakadilan sosial.

Cipto berpendapat bahwa hubungan feodal dan kolonial merupakan sumber utama penderitaan rakyat, dan ia berusaha menyuarakan ketidakpuasan ini melalui artikel-artikelnya yang tajam dan analitis. Akibat penulisannya yang dianggap subversif, pemerintah kolonial memberikan teguran keras kepada Cipto.

Hal ini memicu keputusan beratnya untuk keluar dari instansi pemerintahan, meskipun ia harus mengembalikan sejumlah uang ikatan dinas yang tidak sedikit. Keputusan ini diambil demi kebebasan untuk membela bangsanya tanpa Batasan.

Baca Juga: Konklaf: Sebuah Istilah Prosesi Pemilihan Tertutup untuk Memilih Calon Uskup Roma yang Baru

Pada tahun 1912, Cipto bertemu dengan Douwer Dekker dan Soewadi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), yang memotivasi dia untuk lebih aktif dalam kritik terhadap pemerintah kolonial. Bersama mereka, Cipto mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik yang bertujuan mewakili kepentingan semua penduduk Hindia Belanda tanpa memandang suku atau agama.

Indische Partij menjadi wadah bagi perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat pribumi. Pada tahun 1913, Cipto bersama rekan-rekannya mendirikan Komite Bumi Putera untuk menolak perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas Perancis, yang dianggap sebagai penghinaan terhadap kaum pribumi.

Tindakan ini berujung pada pengasingan mereka ke Belanda. Namun, karena kondisi kesehatan Cipto yang memburuk akibat asma, ia diperbolehkan kembali ke Tanah Air pada tahun 1914.

Setelah kembali, Cipto melanjutkan perjuangannya dengan bergabung dalam Volksraad (Dewan Rakyat), meskipun ia menyadari bahwa posisi tersebut juga digunakan pemerintah untuk mengawasi gerakannya. Di Volksraad, ia terus menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.

Namun, pada tahun 1923, ia kembali diasingkan ke Bandung dan kemudian ke Banda Neira selama 13 tahun akibat aktivitas politiknya yang terus berlanjut.

Akhir Hidup

Selama di pengasingan Penyakit Asma yang dialaminya kembali kambuh, beberapa kawannya kemudian mengusulkan kepada pemerintah untuk mengembalikan Cipto ke Jawa agar diobati, pemerintah menyetujui tersebut asalkan Cipto harus melepaskan hak politiknya. Mendengar itu Cipto dengan tegas menolak dan mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepas hak politiknya.

Hingga Cipto dipindahkan ke Bali, Makassar, dan Sukabumi Pada tahun 1940, dan Jakarta. Di Jakarta sang dokter menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 8 Maret 1943 atau bertepatan 4 hari setelah hari ulang tahunnya yang ke-57 tahun.


Banner Z Creators Undip.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sejati