INDOZONE.ID - Setelah merebut tahkta kekuasaan Belanda-Perancis di Jawa, Inggris berkeinginan besar menyebarkan sayap superioritas kolonialnya dengan berusaha berkuasa atas kerajaan lokal, termasuk Kesultanan Yogyakarta.
Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi Inggris di Jawa, menganggap penting menundukan Sultan Hamengkubuwono II yang dinilai keras kepala dan bersekongkol dengan Surakarta.
Diplomasi awal melalui Pangeran Notokusumo menemui kegagalan, mengingat posisi Notokusumo di mata Sultan dianggap sebagai antek Inggris.
Perseteruan internal dalam Keraton Yogyakarta pun memuncak, dengan dua kubu yang saling berseberangan: kubu Sultan Sepuh yang didukung bangsawan utama Yogyakarta, dan kubu Adipati Anom yang disokong oleh Notokusumo serta pemerintahan Inggris.
Baca Juga: Ajian Welut Putih: Bikin Sakti Mandraguna, Tapi Ngeri Balasannya!
Menanggapi krisis tersebut, Raffles mengadakan rapat strategis di Batavia pada 25 April 1812.
Dalam rapat yang dihadiri oleh John Crawfurd, Kolonel Gillespie, Notokusumo, Prangwedono, dan Tan Jin Sing, diputuskan bahwa situasi Yogyakarta cukup gawat karena Sultan melanggar perjanjian dan menjalin aliansi militer dengan Pakubuwono IV dari Surakarta.
Pangeran Notokusumo turut menyumbangkan denah Keraton Yogyakarta serta menunjukkan titik-titik terlemahnya.
Dalam strategi penyerangan, logistik dan biaya operasi diserahkan kepada Adipati Anom dan Tan Jin Sing, yang keduanya menyetujui untuk mendukung operasi Inggris.
Baca Juga: Kisah Mistis Dukun Beranak dan Sosok Ibu dan Bayi Misterius dari Desa Mekarwangi
Serangan militer ke Yogyakarta disusun secara sistematis oleh Kolonel Gillespie, yang baru kembali dari Palembang. Pasukan Inggris kemudian masuk secara bertahap ke wilayah Yogyakarta dan berkumpul di Benteng Vredeburg dengan dukungan logistik dari Tan Jin Sing.
Pada 15 Juni 1812, pasukan berkumpul di Semarang, lalu bergerak ke Yogyakarta melalui dua arah: utara dan timur.
Pasukan utara dipimpin Gillespie, sementara pasukan dari timur dikepalai oleh Letnan Kolonel MacKenzie dan Prangwedono, yang melewati Surakarta.
Sunan Pakubuwono IV, yang terkesan oleh demonstrasi militer Inggris, menyumbang 400 prajurit untuk mendukung serangan ke Yogyakarta.
Pasukan Inggris terdiri dari Resimen Infanteri ke-14, Sepoy, Artileri Sukarela ke-3, Pasukan Dragoon ke-22, Legiun Mangkunegaran, serta Pasukan Surakarta.
Meskipun pasukan Inggris relatif kecil, keunggulan dalam teknologi militer dan pengalaman perang menjadikan mereka sangat efektif.
Pertempuran pertama terjadi di sisi timur, melalui Jalan Juwinatan, di mana pasukan Sepoy terlibat tembak-menembak dengan pasukan Yogyakarta pimpinan Sumodiningrat.
Sementara itu, artileri Inggris membombardir Keraton dari arah barat, dan mendapat balasan dari meriam Sutabel Jawi.
Gillespie kemudian mengubah strategi dengan membagi pasukannya menjadi tiga arah serangan. Mayor Grant memimpin pasukan kecil di utara untuk mengecoh perhatian pasukan Yogyakarta.
Sementara itu, Letnan Kolonel Watson dan McLeod memimpin serangan utama dari timur laut, yang dianggap titik terlemah berdasarkan informasi dari Notokusumo.
Serangan ketiga datang dari selatan, dipimpin Letnan Kolonel Dewar bersama pasukan gabungan Sepoy, infanteri ringan, dan Legiun Mangkunegaran.
Penyerangan di front barat juga dibarengi penjarahan dan pembakaran di kediaman para bangsawan yang ditinggalkan. Gencatan senjata tidak resmi pada malam 19 Juni memberi waktu Inggris menyusun rencana akhir.
Notokusumo dan Tan Jin Sing kembali memandu Inggris ke titik-titik rentan pertahanan keraton.
Sementara pasukan utama menyerang Kadipaten, tempat tinggal Adipati Anom, Sultan justru menolak mengirim bantuan ke wilayah tersebut karena hubungan buruk dengan putranya.
Hal ini melemahkan pertahanan dan memberi celah bagi Inggris untuk mendobrak pertahanan Keraton.
Strategi terorganisir, informasi dari kolaborator lokal, serta lemahnya kohesi internal di tubuh Kesultanan menjadi faktor kunci keberhasilan Inggris dalam Geger Sepehi.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam