INDOZONE.ID - Hoogere Burgerschool (HBS) didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 sebagai lembaga pendidikan menengah yang diperuntukkan bagi kalangan elit.
Sekolah ini bertujuan untuk mencetak tenaga terdidik yang dapat membantu menjalankan roda pemerintahan kolonial.
HBS tidak hanya berperan sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai alat pengontrol sosial yang mempertahankan struktur kekuasaan kolonial.
Sekolah ini hanya dapat diakses oleh anak-anak dari kalangan elite, baik pribumi maupun keturunan Eropa.
Sejarah Pendirian dan Akses Pendidikan di HBS
HBS didirikan pada tahun 1864 sebagai lembaga pendidikan menengah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah-sekolah dasar untuk pribumi.
Pemerintah kolonial Belanda merancang HBS untuk mendidik pejabat administratif yang dapat mendukung pengelolaan Hindia Belanda.
Akses ke HBS terbatas hanya bagi anak-anak dari keluarga priyayi, bangsawan, atau pegawai negeri, yang menjadi bagian dari elite kolonial.
Beberapa anak pribumi yang berhasil menempuh pendidikan di HBS kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah Indonesia.
Baca Juga: Di Balik Layar Kolonial Belanda: Kisah Pembantu Rumah Tangga pada Abad Ke-19
Soekarno dan Mohammad Hatta adalah dua contoh tokoh yang mendapatkan pendidikan di HBS dan menggunakan ilmu yang mereka peroleh untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Gedung-gedung HBS dibangun di pusat kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Bandung, menciptakan kesan eksklusivitas pendidikan yang diberikan.
Model pendidikan yang diterapkan di HBS sangat mirip dengan sistem pendidikan di Belanda, di mana bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar di dalam kelas.
Hal ini mempertegas orientasi pendidikan yang lebih berfokus pada nilai-nilai Barat yang dianggap lebih maju pada masa itu.
Kualitas pendidikan di HBS sangat tinggi, jauh berbeda dengan pendidikan yang diterima oleh rakyat biasa yang hanya terbatas pada keterampilan dasar.
Kurikulum HBS Menekankan Ilmu Eksakta dan Bahasa Asing
Kurikulum yang diterapkan di HBS menekankan ilmu eksakta, seperti matematika, fisika, kimia, serta bahasa asing, terutama bahasa Belanda.
Pendidikan di HBS dirancang untuk menghasilkan lulusan yang dapat beradaptasi dengan kompleksitas sistem pemerintahan kolonial.
Kemampuan berbahasa Belanda sangat ditekankan karena dianggap sebagai kunci untuk berkomunikasi dalam administrasi kolonial yang lebih formal dan terstruktur.
Sementara mata pelajaran sejarah dan budaya Eropa diajarkan secara mendalam, kurikulum HBS minim dalam memasukkan ajaran tentang budaya atau sejarah lokal.
Keadaan ini menciptakan kesenjangan budaya yang jelas antara siswa HBS dan masyarakat pribumi.
Siswa HBS diharapkan untuk melanjutkan pendidikan mereka ke universitas di Belanda atau bergabung dengan lembaga-lembaga pemerintah kolonial, di mana mereka akan berperan sebagai perantara dalam administrasi kolonial.
Disiplin ketat diterapkan di HBS. Pendidikan tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan, tetapi juga etika dan tata krama yang sesuai dengan standar Eropa.
Hal ini bertujuan untuk membentuk individu yang tidak hanya terdidik secara intelektual, tetapi juga siap bekerja dalam struktur pemerintahan kolonial yang besar dan terorganisir.
Lulusan HBS dan Peran Mereka dalam Sejarah Indonesia
Lulusan HBS memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan Indonesia setelah kemerdekaan.
Banyak dari mereka terlibat dalam pergerakan nasional dan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Sekolah untuk Priyayi: Ketimpangan Pendidikan di Zaman Kolonial
Soekarno, yang merupakan lulusan HBS, menggunakan pendidikan yang diperolehnya untuk merumuskan strategi pergerakan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Mohammad Hatta, yang juga seorang lulusan HBS, menjadi Wakil Presiden pertama Indonesia dan menggunakan pengetahuannya untuk membangun negara.
Pendidikan yang diperoleh di HBS memberikan wawasan internasional yang sangat penting bagi mereka dalam menghadapi tantangan yang muncul setelah Indonesia merdeka.
Meskipun HBS berfungsi sebagai lembaga pendidikan kolonial yang mendidik generasi yang loyal kepada Belanda, banyak lulusan HBS yang menggunakannya untuk membangun Indonesia yang merdeka.
Mereka memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh untuk membangun infrastruktur negara, merumuskan kebijakan, dan memimpin bangsa menuju masa depan yang lebih baik.
Namun, pendidikan yang diterima di HBS tetap dipengaruhi oleh sistem kolonial yang lebih menekankan pada pembentukan elite yang terasing dari budaya lokal.
Hal ini mengakibatkan kesenjangan budaya yang lebih dalam antara elit terdidik dan masyarakat umum.
Ketimpangan ini berlanjut bahkan setelah kemerdekaan, menciptakan tantangan dalam membangun sebuah masyarakat yang lebih adil dan merata.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Repository Unair