Kisah Kusumoto Ine, Dokter Wanita Pertama di Jepang dengan Jalan Hidup yang Dramatis dan Inspiratif
INDOZONE.ID - Ini adalah kisah tentang Kusumoto Ine, seorang gadis kelahiran Nagasaki, Jepang pada 31 Mei 1827. Nama asli Ine adalah Shiimoto Ine, Dia adalah putri dari seorang fisikawan Jerman bernama Philipp Franz von Siebold dan seorang pekerja seks komersial bernama Kusumoto Taki.
Orang tua Ine bertemu di Pulau Dejima, sebuah pulau buatan dekat Nagasaki yang menjadi pusat perdagangan Internasional Jepang saat itu. Selama lebih dari 2 abad, perdagangan dengan bangsa asing adalah sesuatu yang dilarang di Jepang, karena pada masa itu, Jepang masih menutup diri dengan dunia luar.
Saat di Dejima, Philipp memperkenalkan teknik pengobatan barat di Jepang. Di tahun 1823, Philipp akhirnya bertemu dengan Taki dan mulai menjalin hubungan setelahnya. Saat itu, Taki masih berusia 16 tahun, sementara Philipp berusia 27 tahun.
Kehidupan rumah tangga Philipp dan Taki saat itu sangat bahagia, bahkan sampai Ine lahir. Sayangnya, pada 22 Oktober 1829, Philipp ketahuan oleh pemerintah Jepang. Ia dituduh atas pencurian peta yang kemungkinannya dikirim ke negara musuh.
Baca Juga: Kido Butai: Armada Kapal Induk Jepang yang Mendominasi dan Mengubah Sejarah Perang Pasifik
Karena tuduhan tersebut, Philipp diusir dari Jepang dan terpaksa harus meninggalkan anak dan istrinya. Saat kejadian, Ine masih berusia 2 tahun
Meski berpisah, Philipp masih memberi nafkah untuk anak dan istrinya. Bahkan, Philipp juga masih sempat membiayai sekolahnya Ine hingga Ia bisa mengenyam pendidikan di sekolah medis. Tapi di sisi lain, Taki memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang pria bernama Wasaburo.
Perjalanan Dramatis Selama Mengenyam Pendidikan
Perkenalan Ine dengan ilmu medis berawal saat usianya sekitar 14-15 tahun. Saat itu, Ia pergi ke prefektur Ehime dan bertemu dengan salah satu murid Ayahnya yang bernama Ninomiya Keisaku.
Pada tahun 1845 saat usianya menginjak 18 tahun, Ine memulai pendidikannya di dunia medis di Okayama. Di sana Ia berkenalan dengan salah satu murid Ayahnya yang bernama Ishii Soken. Saat itulah mereka berdua menjadi teman seperguruan
Naas, pendidikan Ine sempat terhenti di tahun keenam usai dirinya menjadi korban pemerkosaannya Ishii Soken. Akibatnya, Ine pun hamil dan melahirkan seorang anak perempuan bernama Tada, yang artinya "kebebasan".
Saat Tada berusia 2 tahun, Ine kembali melanjutkan pendidikannya ke Nagasaki di bawah didikan Abe Roan. Kemudian, Ine pergi ke prefektur Ehime untuk berguru kepada Ninomiya Keisaku bersama dengan Mise Shuzo, keponakan dari Keisaku. Selama Ine pergi, Ia menitipkan Tada kepada Ibunya.
Baca Juga: Kisah Nyata Tentara Jepang 30 Tahun Sembunyi di Hutan, Tak Tahu Perang Dunia Kedua Telah Berakhir
Selang 5 tahun mengenyam pendidikan, Jepang sudah mulai membuka diri kepada dunia dan mulai mengizinkan orang-orang dari negara lain untuk datang. Di saat itulah Ine bisa bertemu kembali dengan Ayah kandungnya, yaitu Philipp Siebold. Tidak hanya Ayahnya, Ine juga bertemu dengan Adik tirinya yang bernama Alexander untuk pertama kali.
Kemudian, Shuzo dipilih oleh Phillip sebagai asisten pribadi sekaligus guru privat bagi Alexander. Pada awalnya, hubungan Ayah dan Anak antara Phillip dan Ine berjalan dengan harmonis. Lama kelamaan, hubungan mereka mulai merenggang.
Puncaknya, setelah Ine mengetahui kalau Ayahnya memiliki hubungan gelap dengan seorang pembantu, Ine pun pergi meninggalkan Ayahnya. Sejak saat itu, Ine tak pernah bertemu lagi dengan Ayah dan Adik tirinya, bahkan hingga kepergian Phillip ke Jerman pada April 1862.
Ine tetap berfokus pada pendidikannya. Kali ini, Ia berguru kepada seorang fisikawan Belanda bernama Pompe van Meerdervoort. Selama belajar, Van Meerdervoort mengaku terkesan dengan kepintaran Ine.
Di tahun 1861, Van Meerdervoort mendirikan sebuah sekolah medis bernama Nagasaki Yojosho, yang dibangun berkat bantuan dari pemerintahan Jepang. Di situ Ine menjadi salah satu muridnya, di sana Ia mempelajari teknik pembedahan tubuh manusia.
Karier Sebagai Dokter & Bidan
Ine semakin dikenal karena kepandaiannya. Tak hanya itu, Ia juga dikenal karena merupakan putri dari seorang fisikawan Jerman. Akan tetapi, karena dirinya adalah anak campuran Jerman-Jepang, Ine juga kerap mendapat diskriminasi dari orang lain.
Baca Juga: Mengungkap Sejarah Maritim Jepang: Mulai Era Tokugawa ke Meiji
Sampai akhirnya, Ia ditarik sebagai dokter pribadi petinggi prefektur Ehime saat itu, Date Munenari. Berkat jasa Munenari, Ine mendapat nama baru, yaitu Kusumoto Itoku, guna mencegah dirinya dari upaya diskriminasi yang akan datang. Tak hanya Ine, putrinya pun mendapat nama baru dari yang dulunya bernama Tada menjadi Takako.
Di era 1860-an, Ine sebenarnya sudah memulai praktiknya sebagai dokter. Tidak hanya menyibukkan diri dengan pekerjaannya, Ine juga masih terus melanjutkan pendidikannya, bahkan sampai ke kota Tokyo. Saat di Tokyo, Ine mempelajari ilmu ovariektomi di bawah ajaran Antonius Bauduin.
Bersamaan dengan masa belajarnya Ine di Nagasaki Yojosho, Ine mendapat kabar kalau Shuzo ditangkap oleh kelompok anti orang asing dengan alasan Shuzo membantu orang asing di Jepang. Beruntung, dengan bantuan Date Munenari Shuzo bisa dibebaskan pada tahun 1865 usai melalui proses yang panjang. Lalu pada 1866, Shuzo resmi menjadi menantunya Ine usai menikahi Takako.
Usai menyelesaikan pendidikannya, pamor Ine sebagai dokter wanita pertama di Jepang kian melejit. Sepanjang karier kedokterannya, Ia pernah membantu proses persalinan dari istrinya Date Munenari yang bernama Yoshiko dan selir Kaisar Mutsuhito yang bernama Hamuro Mitsuko.
Kemudian di tahun 1884, Ine resmi mendapat sertifikat kebidanannya di Nagasaki. Setelah 5 tahun bekerja di sana, Ine kembali ke Tokyo hingga masa pensiunnya di tahun 1895. Di tengah kesibukannya sebagai dokter dan bidan, Ine juga mengajarkan ilmunya ke beberapa murid. Selain pintar, Ine juga digambarkan sebagai sosok guru dan Ibu yang baik dan penyayang.
Baca Juga: Kisah Hidup Osamu Dazai: Dari Kesepian Masa Kecil hingga Bunuh Diri Tragis
Kehidupan Pribadi & Akhir Hayat Ine
Saat Ine masih mengenyam pendidikan di Tokyo, secara mengejutkan Ia bertemu dengan Anak tirinya yang bernama Ishii Kendo. Meskipun Ine tak pernah menganggap Ishii Soken sebagai suaminya, tapi memperlakukan Anak tirinya dengan baik, seperti anak kandungnya sendiri.
Di tahun 1873, Kendo dan Shuzo sebagai anak-anak dari Ine berhasil mendapat penghargaan dari pemerintah pusat. Selang 3 tahun usai mendapat penghargaannya, Shuzo pindah ke Osaka bersama dengan Takako. Selama di sana, Shuzo bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Osaka. Sayangnya, Shuzo meninggal dunia pada tahun 1877.
Usai kepergian Shuzo, Takako menikah lagi dengan seorang dokter bernama Yamawaki Taisuke. Sebelum menikah kembali, Takako sempat melahirkan seorang anak laki-laki yang namanya sama seperti mendiang suaminya, yaitu Shuzo. Bersama Yamawaki, Takako dikaruniai 3 orang anak sebelum kembali ditinggal mati oleh Yamawaki pada 1886.
Meski sudah lama berpisah, Ine rupanya masih berhubungan baik dengan Adik tirinya, yaitu Alexander. Kabar terakhirnya, Alexander saat itu bekerja di kedutaan Inggris. Kabar lainnya adalah, Alexander memiliki seorang Adik yang bernama Heinrich. Saat itu, Heinrich pun bekerja di kedutaan. Namun lebih tepatnya, Ia bekerja sebagai penerjemah di kedutaan Austro-Hungaria sejak tahun 1869.
Tanggal 27 Agustus 1903 menjadi salah satu hari berkabung bagi negeri Sakura. Pasalnya, di hari itulah Kusumoto Ine menghembuskan nafas terakhirnya. Ine meninggal usai memakan Ikan Lele dan Semangka. Kedengarannya tidak ada yang salah dengan menu makan terakhirnya Ine, tapi nyatanya Ine mengalami keracunan makanan usai mengonsumsi 2 makanan tersebut.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya, kisah hidup Ine menjadi inspirasi dari sejumlah buku novel, serial TV, drama teater sampai Manga. Selain itu, Ine juga diangkat sebagai salah satu karakter dalam game, contohnya Toukiden dan yang terbaru adalah Rise of Ronin.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wikipedia