Kategori Berita
Media Network
Rabu, 11 JUNI 2025 • 17:11 WIB

Dari Ronggeng hingga Bordil Eropa: Jejak Prostitusi Surabaya Lama

Ilustrasi Wanita penghibur di surabaya abad 19 (sumber: KLTV)

INDOZONE.ID - Zaman sekarang kata "prostitusi" mungkin udah nggak asing lagi di telinga kita. Tapi pernah nggak sih kalian kepikiran kenapa Surabaya dulu bisa jadi salah satu pusat prostitusi terbesar di masa kolonial? Ternyata sejarahnya cukup panjang dan kompleks.

Dulu, di masa kolonial Belanda, pelabuhan-pelabuhan besar jadi pusat segala aktivitas ekonomi, termasuk juga hiburan buat para pekerja yang jauh dari rumah dan keluarga. Surabaya yang punya pelabuhan modern di pertengahan 1880-an jadi salah satu kota penting buat perdagangan antarpulau. Tapi, di balik geliat ekonomi itu, tumbuh juga kehidupan malam yang penuh warna, salah satunya lewat praktik prostitusi.

Baca Juga: Sisi Gelap Batavia, Jejak Prostitusi di Jakarta Semasa Masih Jadi Kota KolAonial

Para wanita yang bekerja sebagai pelacur waktu itu kebanyakan tinggal di kampung khusus, terpisah dari pemukiman lain. Menariknya, di kalangan bumiputera ada juga pembeda antara pelacur biasa dan ronggeng, yaitu perempuan penari atau penyanyi. Walau nggak semua ronggeng itu pelacur, tapi ada yang menjadikan profesi hiburan itu sebagai jalan untuk bertahan hidup karena keterbatasan ekonomi dan minimnya lapangan kerja.

Prostitusi di Surabaya waktu itu nggak main-main. Warung kopi kecil di pinggir pelabuhan, rumah bordil milik orang Cina dan Jepang, sampai rumah bordil elite milik orang Eropa, semuanya ada. Para wanita yang bekerja di warung kopi dan klub malam juga sering merangkap jualan minuman keras, dan menunggu pelanggan sampai pagi hari.

Prostitusi di era Victoria merupakan hal yang umum. Para wanita lebih memilih untuk menjadi pelacur dibanding pekerja industri (Wikimedia Commons)

Meskipun waktu itu pemerintah kolonial nggak secara langsung melarang prostitusi, mereka tetap ngelakuin pengawasan kesehatan supaya nggak menyebar penyakit. Tapi pada akhirnya, sistem pengawasan itu nggak efektif juga. Tahun 1911, pemeriksaan kesehatan resmi buat pelacur bahkan dihapus. Dan akibatnya, pada 1941, sekitar 15% populasi Surabaya terinfeksi penyakit menular seksual. Angka itu bahkan lebih tinggi dari kota-kota besar di Eropa.

Ada sisi ekonomi yang bikin profesi ini tetap hidup. Banyak perempuan yang melayani tentara dan pejabat kolonial bisa dapet penghasilan tinggi. Tapi konsekuensinya juga nggak kecil. Selain risiko penyakit, ada tekanan psikis dan sosial yang berat, apalagi buat mereka yang dipaksa, termasuk anak-anak berdarah campuran yang dijual ibunya sendiri. Kasus kehamilan dini, aborsi ilegal, dan gangguan kesehatan mental juga ikut jadi dampak yang susah dihindari.

Baca Juga: 'Prostitusi Suci', Praktik Wanita Yunani untuk Mendapatkan Kebebasan Hidup Mandiri

Nggak heran kalau tempat prostitusi sering dikaitkan sama tindakan kriminal, pertengkaran karena alkohol, sampai gangguan keamanan di sekitar wilayah itu. Prostitusi mungkin pernah jadi "cara cepat" buat bertahan hidup, tapi efek jangka panjangnya jelas bukan hal yang bisa dianggap remeh.

Kisah prostitusi di Surabaya bukan cuma cerita kelam masa lalu, tapi juga refleksi tentang gimana ekonomi, kekuasaan, dan pilihan hidup bisa saling bertabrakan. Dan mungkin, ini juga jadi pengingat bahwa di balik gemerlapnya kota pelabuhan, selalu ada sisi gelap yang menyimpan cerita pilu.



Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Journal2.um.ac.id

BERITA TERKAIT
BERITA TERBARU

Dari Ronggeng hingga Bordil Eropa: Jejak Prostitusi Surabaya Lama

Link berhasil disalin!