Ilustrasi perbudakan di Surabaya Abad 9 (Istiewa)
INDOZONE.ID - Surabaya dikenal luas sebagai Kota Pahlawan—simbol perjuangan, keberanian, dan semangat kemerdekaan. Namun, jauh sebelum suara bom dan pekik "Merdeka!" menggema di medan tempur, kota ini pernah menjadi saksi bisu praktik yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai kebebasan: perbudakan.
Mungkin banyak yang tidak menyangka bahwa Surabaya pernah menjadi lokasi praktik perbudakan. Selama ini, sejarah perbudakan lebih sering diasosiasikan dengan wilayah perkebunan atau daerah pedalaman.
Namun, menurut laporan penelitian yang diterbitkan pada tahun 2002 ini, Surabaya pada abad ke-19 menjadi salah satu titik konsentrasi budak—baik sebagai tempat transit perdagangan maupun lokasi kerja paksa.
Perbudakan di Nusantara sendiri bukan hal baru. Jauh sebelum bangsa Barat menjejakkan kaki di kepulauan ini, raja-raja lokal telah mempraktikkan sistem perbudakan.
Baca Juga: Tokoh-tokoh Abolisionis dan Perjuangan Melawan Perbudakan
Budak dijadikan simbol status dan kekuasaan. Mereka bisa diwariskan, dijual, atau digunakan untuk berbagai keperluan domestik dan ekonomi.
Di masa kolonial, praktik ini tidak sepenuhnya diberantas. Bahkan, pihak VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda tercatat beberapa kali melarang perbudakan secara hukum, tetapi di saat yang sama juga memanfaatkannya secara praktik.
Sebuah ironi yang memperlihatkan betapa kuatnya sistem eksploitasi saat itu.
Para budak di Surabaya pada abad ke-19 kebanyakan bekerja di sektor rumah tangga, pelabuhan, pertanian, dan juga dalam layanan jasa. Mereka adalah individu-individu yang tak memiliki hak, tak bisa menentukan hidupnya sendiri, dan sepenuhnya berada dalam kekuasaan majikan.
Dalam catatan yang diungkap oleh laporan kolonial Belanda, kondisi para budak sangat memprihatinkan. Siksaan fisik, perlakuan kejam, hingga pemisahan keluarga adalah hal yang biasa. Meski demikian, tidak semua tuan budak kejam.
Ada pula yang memperlakukan budaknya dengan baik, bahkan menjadikan mereka bagian dari keluarga. Tapi tetap, itu tak mengubah fakta bahwa status mereka adalah bukan manusia merdeka.
Baca Juga: Kisah Singkat Trem Kuda Angkutan Umum di Surabaya Pada Akhir Abad Ke-19
Salah satu aspek menarik dari penelitian ini adalah soal asal-usul para budak di Surabaya. Sayangnya, catatan sejarah tentang hal ini sangat terbatas. Namun diperkirakan, banyak dari mereka berasal dari wilayah-wilayah luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan kawasan timur Indonesia.
Ada pula budak yang diperoleh dari tawanan perang atau dijual oleh keluarganya sendiri karena alasan ekonomi. Perdagangan budak ini merupakan jaringan yang kompleks. Surabaya menjadi salah satu pelabuhan utama yang turut menghubungkan wilayah-wilayah penghasil budak dengan pusat-pusat ekonomi kolonial.
Tahun 1859 menjadi titik balik yang penting. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya secara resmi melarang praktik perbudakan di seluruh wilayah kekuasaannya. Larangan ini tentu saja tidak langsung serta-merta menghapuskan praktik perbudakan yang telah mengakar selama ratusan tahun.
Tetapi secara perlahan, sistem ini mulai ditinggalkan dan digantikan dengan bentuk-bentuk hubungan kerja yang “lebih modern”—meski tetap menyisakan eksploitasi.
Larangan itu berdampak langsung terhadap kehidupan sosial di kota Surabaya. Para budak yang sebelumnya tidak memiliki identitas resmi mulai dicatat dalam sistem administrasi negara. Sebagian dari mereka tetap tinggal bersama mantan majikannya, ada pula yang mencoba memulai hidup baru sebagai rakyat bebas, meski penuh tantangan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Universitas Airlangga