Beberapa wilayah seperti Banjar dan Kawali menjadi daerah yang paling terdampak, di mana angka kelaparan meningkat secara signifikan.
Selain itu, ketimpangan ekonomi semakin mencolok. Keuntungan dari industri tarum kembang hanya dinikmati oleh pemerintah kolonial dan para pengusaha perkebunan Belanda, sementara petani pribumi tidak mendapatkan imbalan yang layak atas kerja keras mereka.
Ketidakadilan ini menciptakan keresahan sosial yang semakin memicu perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Dalam kondisi yang semakin sulit, banyak petani memilih untuk meninggalkan desa mereka dan bermigrasi ke wilayah lain yang lebih aman dan tidak terlalu terdampak oleh sistem tanam paksa.
Sebagian lainnya bahkan melakukan pemberontakan terhadap kebijakan kolonial, meskipun upaya ini sering kali berakhir dengan represi dari pihak Belanda.
Meskipun pada awalnya industri tarum kembang berkembang pesat di Kabupaten Galuh, kemundurannya mulai terjadi pada akhir 1840-an. Penyebab utama penurunan ini adalah munculnya pewarna sintetis di Eropa yang menggantikan indigo alami.
Pewarna sintetis lebih murah dan mudah diproduksi dalam jumlah besar, sehingga permintaan terhadap tarum kembang dari Indonesia menurun secara drastis.
Selain itu, perlawanan dari petani lokal yang semakin kuat menyebabkan produktivitas perkebunan menurun. Banyak petani yang enggan bekerja di perkebunan kolonial atau dengan sengaja melakukan sabotase terhadap produksi tarum kembang.
Faktor lain yang berperan dalam kemunduran industri ini adalah perubahan kebijakan ekonomi pemerintah kolonial, yang mulai beralih fokus ke komoditas lain seperti kopi dan tebu yang dianggap lebih menguntungkan.
Pada tahun 1850-an, banyak lahan yang sebelumnya digunakan untuk tarum kembang mulai dikembalikan menjadi sawah. Masyarakat pun berangsur-angsur kembali ke pertanian padi dan tanaman pangan lainnya, meskipun dampak panjang dari sistem tanam paksa masih dirasakan selama bertahun-tahun setelahnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Algemeen Dagblad