Kitab-kitab ini dikenal sebagai Tarajumah, dan isinya tidak hanya membahas fikih atau akidah, tetapi juga kritik tajam terhadap para pejabat dan ulama yang tunduk pada kekuasaan Belanda.
KH Ahmad Rifa’i juga aktif berdakwah keliling dan membangun jaringan pengikut di berbagai daerah seperti Kendal, Batang, Pekalongan, hingga Wonosobo.
Ia menggunakan metode dakwah yang unik—menggabungkan syair, bahasa lokal, dan pendekatan personal, sehingga pesannya mudah diterima oleh masyarakat awam.
Dengan gaya yang sederhana namun kuat, Rifa’i tak hanya menjadi ulama, tetapi juga simbol perlawanan moral terhadap ketidakadilan.
KH Ahmad Rifa’i tidak pernah mengangkat senjata, tapi gagasan-gagasannya mengguncang kekuasaan kolonial.
Ia menyadari bahwa perlawanan tak melulu soal fisik, tapi juga tentang membangkitkan kesadaran umat. Lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan berani, ia mengkritik habis-habisan sistem kolonial Belanda dan antek-anteknya.
Rifa’i menulis lebih dari 60 kitab dalam bentuk syair berbahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon—gaya penulisan yang mudah dipahami masyarakat awam.
Isinya membahas fiqih, akidah, dan tasawuf, tapi juga menyisipkan pesan perlawanan: menolak penguasa kafir, menjauhi pejabat fasik, dan menghidupkan syariat Islam secara murni.
Salah satu serangan paling tajam KH Ahmad Rifa’i adalah menyebut para pejabat pribumi yang bekerjasama dengan Belanda—seperti demang, bupati, bahkan penghulu—sebagai “munafik” dan “fasik”.
Dalam pandangannya, orang fasik tidak sah menjadi imam shalat atau saksi pernikahan. Implikasinya sangat besar: masyarakat diajak untuk menolak legitimasi agama dari tokoh-tokoh yang tunduk pada penjajah.
Bukan hanya lewat tulisan, Rifa’i juga aktif berdakwah keliling, menggelar pengajian di daerah-daerah miskin dan terpencil, serta menjalin silaturahmi dengan santri dan masyarakat biasa.
Ia bahkan menciptakan sistem sosial tersendiri dalam komunitasnya—Gerakan Rifa’iyah—yang menekankan kemandirian, solidaritas internal, dan pemurnian ajaran Islam.
Kritik Rifa’i yang konsisten terhadap pemerintah kolonial akhirnya membuatnya dianggap berbahaya. Ia sempat dipenjara dan kemudian diasingkan ke Ambon.
Tapi justru dari pengasingan itulah, warisan pemikirannya terus menyebar, dan hingga kini komunitas Rifa’iyah masih aktif menjalankan ajarannya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal