INDOZONE.ID - Liberalisme di Hindia Belanda pada periode 1870-1900 membawa perubahan besar dalam tata kelola ekonomi di wilayah jajahan tersebut.
Kebijakan pintu terbuka bagi modal asing dan investasi swasta menjadi gerbang masuknya sistem ekonomi kapitalis ke Hindia Belanda.
Salah satu dampak dari liberalisme ini adalah munculnya monetisasi atau peralihan dari sistem ekonomi tradisional berbasis barter menuju ekonomi uang tunai.
Uang logam seperti gulden Belanda mulai menggantikan komoditas sebagai alat tukar, mengubah lanskap ekonomi yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Baca Juga: Sebelum Jepang, China Pernah Dominasi Asia Timur di Masa Lalu
Monetisasi membawa konsekuensi yang cukup besar bagi masyarakat pribumi Hindia Belanda, terutama di pedesaan.
Sistem ekonomi uang yang didasarkan pada kepemilikan modal telah mengubah secara drastis tatanan sosial ekonomi yang sebelumnya bersifat komunal dan mandiri.
Masa liberal di Hindia Belanda, yang seharusnya membawa kemajuan ekonomi, ternyata tidak memberikan manfaat signifikan bagi pribumi, khususnya di Jawa.
Industri perkebunan yang berkembang pesat justru meningkatkan tingkat kemiskinan di kawasan tersebut.
Baca Juga: Dinasti Han Sajikan Era Keemasan China: Salah Satunya Bentuk Jalur Sutra!
Pertambahan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan ketersediaan bahan pangan memicu kelaparan yang meluas.
Situasi ini diperparah ketika tanah subur yang seharusnya digunakan untuk bertani disewakan kepada swasta, meninggalkan lahan tandus bagi petani.
Meskipun sistem culturstelsel telah dihapuskan pada tahun 1870, kenyataannya petani masih diwajibkan membayar pajak sementara tanah penghasilan mereka digunakan oleh pihak lain.
Krisis global pada tahun 1885 memperburuk keadaan, dengan perusahaan-perusahaan dan perkebunan memangkas upah pekerja dan menyewakan tanah dengan tarif rendah, yang menambah beban masyarakat pribumi.
Kondisi ini bertahan hingga akhir abad ke-19, ditandai dengan penurunan impor barang-barang kebutuhan.
Faktor-faktor seperti kurangnya modal, rendahnya tingkat pendidikan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan tenaga kerja murah, serta penerapan sistem batig saldo oleh perusahaan swasta, semakin memperlebar jurang kemiskinan di kalangan masyarakat pribumi.
Krisis harga barang ekspor pada 1885 juga memperburuk situasi, menyebabkan penurunan drastis dalam upah pekerja dan sewa tanah, dan memperdalam kondisi kemiskinan yang sudah parah.
Baca Juga: Peranan Chandragupta Maurya dalam Kebangkitan Dinasti Maurya
Sejarah peredaran uang di Indonesia bermula dari pendirian De Javasche Bank (DJB) pada 24 Januari 1828, yang kemudian menjadi cikal bakal Bank Indonesia. Bank ini, yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, terinspirasi oleh De Nederlansche Bank di Belanda dan memiliki fungsi serupa sebagai bank sirkulasi.
Saham DJB dipegang oleh pemerintah Belanda dengan porsi 50%, Nederlandsche Handel-Mij sebesar 15%, dan sisanya oleh masyarakat dengan 35%.
DJB, yang berkolaborasi dengan Enschede en Zoon di Harlem untuk produksi uang, menerbitkan pecahan dalam berbagai nominal yang dijamin dengan perak dan emas berdasarkan keputusan pada 11 Maret 1828.
Empat tahun setelah pendiriannya, saham pemerintah Belanda beralih ke tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada tahun 1886, DJB diberikan peran tambahan sebagai kasir pemerintah kolonial, memberikan kemudahan dalam transaksi keuangan pemerintah, termasuk pemberian uang muka tanpa imbalan.
Meskipun penggunaan uang telah ada sejak era VOC dan bahkan sejak prasejarah dengan ditemukannya kerang jenis “cowrie” sebagai alat tukar, peredaran uang secara luas baru terjadi setelah penerapan sistem ekonomi liberal pada tahun 1870, di mana UU Agraria memfasilitasi pengenalan pembayaran uang sebagai bentuk baru dalam transaksi sewa tanah milik pribumi kepada perusahaan swasta.
Baca Juga: Akhir dari Era Shogun: Kisah Kejatuhan Kekuasaan yang Berabad-abad Memimpin Jepang
Implementasi sistem ekonomi liberal dengan pemberlakuan monetisasi atau ekonomi uang di Hindia Belanda pada tahun 1870, yang mengharuskan penduduk pribumi membayar pajak dalam bentuk uang tunai, memperlihatkan dampak negatif pada masyarakat.
Sebelumnya, masyarakat membayar pajak melalui sistem natura, yakni dengan pekerjaan dan bukan uang, sebuah metode yang sesuai dengan kehidupan desa yang sederhana.
Perubahan ke sistem moneter tidak hanya meningkatkan praktik korupsi oleh pejabat kolonial, tetapi juga memaksa penduduk pribumi untuk menjual aset atau berutang kepada rentenir untuk menghindari hukuman kerja paksa.
Dalam lingkup yang lebih luas, pengenalan uang sebagai alat tukar resmi mendorong peningkatan kejahatan, termasuk pembunuhan dan penembakan oleh militer, sebagaimana kasus-kasus yang tercatat mencapai lebih dari 48 insiden.
Selain itu, sistem ini juga menyebabkan marginalisasi ekonomi bagi penduduk kelas bawah, terutama di luar Jawa, dimana banyak warga yang dieksploitasi oleh pelaku pasar tanpa pemahaman yang memadai tentang nilai uang.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal