Pada tahun 1888, perjuangan rakyat Banten dipimpin oleh para ulama dengan semangat fi Sabilillah, tercatat dengan empat pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda.
Pemberontakan pertama pada 1850 dipimpin oleh Haji Wakhia.
Pemberontakan kedua pada 1888 yang dilakukan oleh mayoritas petani di bawah H. Wasid dan Jaro Kajuruan.
Perlawanan ketiga terjadi pada 13 November 1926 di Menes, Kabupaten Pandeglang.
Sementara pemberontakan terakhir pada tahun 1945 menandai kemenangan akhir melawan penindasan kolonialisme.
Baca Juga: Peristiwa Tiga Maret, Pemberontakan Militan Islam di Sumatra Barat Terhadap Pemerintah
Dalam bukunya, Kartodirdjo mengeksplorasi dinamika sosio-ekonomi di Banten pada awal abad ke-19 yang menjadi pemicu utama pemberontakan.
Meskipun Banten terletak di sepanjang pantai, sektor pertanian menjadi tulang punggung ekonomi kerajaan. Sistem kepemilikan tanah, khususnya, memiliki dampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat, di mana Sultan memberikan tanah dalam berbagai bentuk kepemilikan seperti kawargaan, kanayakan, dan pangawulaan kepada berbagai pihak.
Namun, masa pemerintahan Daendels dan Raffles membawa perubahan signifikan dalam hal pemilikan tanah dan pajak, yang menyebabkan ketegangan antara anggota keluarga kerajaan dan pejabat dengan pemerintah kolonial.
Peran petani atau rakyat jelata juga menjadi fokus, di mana mereka seringkali bekerja di tanah pusaka sebagai abdi atau terlibat dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur publik.
Meskipun kerajaan dihapuskan pada tahun 1810, kondisi mereka tidak banyak berubah, bahkan beberapa dipaksa untuk bekerja di tanah milik aristokrat, menyebabkan penderitaan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Peristiwa 5 Februari: Pemberontakan di Kapal Zeven Provincien di Lepas Pantai Sumatera
Perubahan sosial ekonomi lebih lanjut dipengaruhi oleh penetrasi ekonomi Barat dalam administrasi pemerintahan, yang menciptakan konflik antara sistem tradisional dan modern.
Perubahan dalam rekrutmen birokrat juga menciptakan ketegangan antara kaum bangsawan tradisional dan pemerintah kolonial.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Direktorat Pai