Mengenal Syekh Syarip Prawira Sentana, Agamawan Pemimpin Gerakan Perlawanan Rakyat Kulonprogo terhadap Pemerintahan Kolonial Tahun 1839-1840
INDOZONE.ID - Kolonialisme pada abad ke-19 menimbulkan banyak kesengsaraan pada rakyat pribumi. Akibatnya muncul pula berbagai macam bentuk perlawanan sebagai respon atas ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa yang sewenang-wenang.
Perlawanan sosial menjadi peristiwa penting yang mewarnai sejarah penjajahan kolonial di Hindia Belanda. Perlawanan sosial menjadi cerminan dari ketegangan antara kekuatan yang berkuasa dengan mereka yang merasa terpinggirkan.
Salah satu bentuk perlawanan terhadap kolonialisme adalah perlawanan yang dicetuskan oleh tokoh agamawan dari Kulon Progo, Yogyakarta. Ia adalah Syekh Syarip Prawira Sentana yang menginisiasikan aksi-aksi protes terhadap pemerintah kolonial.
Berbagai upayanya mampu membuat kekacauan dan dianggap membahayakan bagi pemerintah Belanda. Perlawanan singkatnya juga mampu membuat kerugian yang cukup besar.
Syekh Syarip Prawira Sentana merupakan seorang tokoh agamawan yang hidup pada abad ke 19 dan masih satu masa dengan Pangeran Diponegoro. Sebagaimana yang tercatat dalam arsip catatan umum Karesidenan Yogyakarta tahun 1840, ia merupakan seorang keturunan Arab yang lahir di Yogyakarta.
Informasi tentang dirinya juga tercatat dalam Babad Diponegoro lan Nagari Purworejo yang menyebutkan bahwa Syarip Prawira Sentana merupakan seorang habib yang berasal dari Desa Secang, Purworejo.
Baca Juga: Di Balik Peristiwa Geger Cilegon 1888: Pemberontakan Para Ulama Banten Melawan Hindia Belanda
Penyebab Munculnya Perlawanan
Gerakan perlawanan yang diinisiasi oleh Syekh Syarip Prawira Sentana merupakan sebuah respon atas ketidakpuasan terhadap birokrasi lokal yang patuh kepada kolonialisme Belanda. Tujuan dari perlawanan Syarip Prawira Sentana ini adalah ingin mendirikan suatu pemerintahan rakyat yang berdaulat. Gerakan perlawanan Syarip Prawira Sentana terjadi setelah periode Perang Jawa.
Pasca Perang Jawa, kolonial Belanda semakin menggencarkan kekuasaannya dengan melakukan reorganisasi serta menguasai birokrasi. Belanda yang semakin kuat justru membuat banyak dari para petinggi lokal memilih tetap bersikap kooperatif dengan pemerintah kolonial. Sikap kooperatif tersebut yang menjadi jembatan bagi pemerintah kolonial untuk membuat berbagai kebijakan yang menguntungkan kolonial. Kebijakan-kebijakan tersebut di sisi lain tentu akan memberikan dampak penderitaan bagi rakyat pribumi.
Kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat diantaranya adalah penerapan sistem ekonomi barat yang mana faktor-faktor produksi seperti tanah, buruh, dan hasil bumi dijualbelikan kemudian dan sistem pajak dijalankan. Selain itu, penerapan tanam paksa juga membuat para petani Kulon Progo menjadi tidak memiliki kebebasan untuk mengolah lahannya guna mencukup kebutuhan sehari-hari mereka.
Pengklasifikasian masyarakat berdasarkan etnis yang menempatkan pribumi sebagai golongan kelas bawah juga menimbulkan permasalahan yang dapat memicu terjadinya konflik antar kelas. Kemungkinan besar para pengikut Syarip Prawira Sentana merupakan para petani karena golongan mereka yang paling terkena dampak dari penerapan tanam paksa.
Proses Perlawanan
Dalam melancarkan aksi perlawanannya, Syarip Prawira Sentana telah merencanakannya secara baik sejak lama. Pada awal-awal perjuangannya, Syarip Prawira Sentana melakukan gerakannya dengan menjarah rumah-rumah patcher Cina. Tercatat dalam laporan umum Karesidenan Yogyakarta tahun 1840 bahwa puncak pemberontakan terjadi dalam waktu 3 kali 24 jam. Pasukan Syarip Prawira Sentana pertama melakukan pembakaran di pos-pos penjagaan di wilayah Kalidungu.
Selanjutnya mereka bergerak ke arah Desa Galur pada 14 Februari 1840 yang mana bertepatan dengan hari peringatan Grebeg Besar sehingga para pejabat daerah pergi ke pusat kota. Syarip Prawira Sentana sengaja memanfaatkan momentum tersebut untuk melancarkan aksinya karena lebih bebas melakukan penyerangan. Selain membakar pos penjagaan, pasukannya juga menjarah rumah Bekel.
Kemudian pasukan yang berada di daerah Pengasih membakar pos penjagaan beserta rumah kepala desa Pengasih. Selanjutnya mereka menuju ke daerah Imarengga dan melakukan aksi sama seperti sebelumnya yakni melakukan pembakaran pos penjagaan. Di Imarengga mereka juga membakar pesanggrehan Imarengga.
Kabar aksi penyerangan pasukan Syarip Prawira Sentana akhirnya terdengar sampai pada Residen Valack. Akhirnya setelah selesai perayaan Grebeg Besar para kepala desa diperintahkan untuk kembali ke Kulon Progo guna menwaspadai agar aksi-aksi perlawanan Syarip Prawira Sentana tidak semakin meluas.
Kepala Distrik Nanggul, Tumenggung Ranawita, adalah kepala daerah yang sampai pertama kali di wilayahnya lebih awal. Tumenggung Ranawita beserta pasukan Distrik Nanggul kemudian menuju Desa Wates untuk menyerang Syarip Prawira Sentana yang telah bersiaga di sana.
Dalam penyerangan tersebut, empat pengikut Syarip Prawira Sentana terbunuh. Seementara itu, Syarip Prawiro Sentana kemudian melarikan diri ke Pegunungan Menoreh bersama dengan para pasukannya yang masih tersisa.
Pemerintah kolonial kemudian membuat sayembara untuk menangkap Syarip Prawira Sentana. Dalam sayembara tersebut pula pemerintah menyediakan imbalan bagi siapapun yang berhasil menangkap Syarip Prawira Sentana, baik dalam keadaan hidup ataupun mati.
Akhirnya, gerakan perlawanan Syarip Prawira Sentana terhenti pada hari keempat terhitung dari awal puncak perlawanan, tepatnya pada 18 Februari 1840. Syarip Prawiro Sentana berhasil tertangkap beserta para pengikutnya dan dihadapkan pada pengadilan. Syarip Prawiro Sentana akhirnya dijatuhi hukuman mati bersama dua pengikut setianya, Buang Seng dan Tjak Seng.
Baca Juga: Dampak Praktik Sistem Tanam Paksa Tahun 1830-1870: Positif dan Negatifnya
Dampak dari Gerakan Perlawanan
Meskipun hanya berlangsung selama satu tahun, namun gerakan perlawanan Syarip Prawira Sentana dapat dikatakan sebagai gerakan yang cukup serius dan menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial. Akibat adanya pembakaran pos-pos penjagaan serta penjarahan rumah-rumah patcher maka hal tersebut menyebabkan kerugian yang cukup berat.
Pemberontakan tersebut memakan biaya yang cukup banyak karena pemerintah harus mengeluarkan biaya guna memperbaiki fasilitas-fasilitas yang dirusak oleh Syarip Prawira Sentana dan pasukannya.
Pasca peristiwa tersebut, pemerintah mulai mempersenjatai dan menduduki Benteng Sentolo sebagai antisipasi mencegah terjadinya perlawanan ataupun aksi aksi pembelotan lainnya yang mungkin masih berkelanjutan.
Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk bikin cerita dan konten serumu serta dapatkan berbagai reward menarik! Let's join Z Creators dengan klik di sini.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Kebudayaan Dan Sastra Islam