Wabah disentri memperdalam luka Tambora. Pada 1815-1816, desa-desa di Sumbawa lenyap, banyak yang tak pernah bangkit.
Kelaparan dan penyakit bersatu, menciptakan lingkaran maut yang menjerat pengungsi hingga ke Lombok dan Bali. Warisan budaya Kerajaan Tambora terputus, tradisi lisan musnah bersama para penyampainya.
Catatan Belanda dari 1815-1816 melukis gambaran kelam: perdagangan lumpuh, ketakutan merajalela. Wabah ini membuktikan bahwa bencana alam bisa melahirkan tragedi kemanusiaan yang lebih dalam.
Wabah disentri pasca Tambora 1815-1816 adalah kisah kelam tentang air yang jadi racun dan harapan yang terkubur.
Catatan sejarah berbisik: krisis kesehatan bisa lebih mematikan daripada letusan itu sendiri. Kini, di era modern, tragedi ini mengingatkan kita untuk menjaga air bersih dan mempersiapkan diri menghadapi bencana.
Baca Juga: Misteri Gunung Tambora, Letusan yang Mengguncang Dunia Pada Abad 19
Tambora bukan cuma masa lalu—ia adalah peringatan agar kita tak mengulang derita yang sama.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: S F K Aka. (2020). Tambora Sebuah Perjalanan Visual