INDOZONE.ID - Kita semua pasti sudah tidak asing dengan perang Jawa atau yang dalam bahasa Belanda disebut De Java Oorlog. Perang ini berlangsung selama lima tahun, tepatnya sejak 1825-1830.
Dalam perang ini, masyarakat pribumi dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan Belanda dipimpin oleh Jenderal De Kock. Dari cerita panjang dan kisah heroik perang ini, ada bagian yang jarang kita ketahui, yaitu keterlibatan Keraton Surakarta dalam perang ini.
Saat perang Diponegoro berlangsung Keraton Surakarta sedang dipimpin oleh Sri Susuhunan Pakubuwono VI yang naik tahta pada 1823.
Ketika masa pemerintahannya Pakubuwono VI merasa bahwa Belanda terlalu ikut campur dalam urusan keraton. Hal inilah yang menyebabkan Pakubuwono VI tidak menyukai Belanda.
Baca Juga: Kisah Mistis Rawa Pengantin: Legenda Siluman, Tragedi Pasangan Malang, hingga Pesugihan
Dua tahun Pakubuwono VI berkuasa, perang Jawa meletus. Karena rasa tidak suka pada Belanda Pakubuwono VI lebih memihak pada Pangeran Diponegoro.
Namun keberpihakan ini terhalang oleh perjanjian yang mengikat antara keraton dan Belanda. Dalam kondisi ini Pakubuwono VI melakukan siasat dua kaki yang disebut “Mimis Kencana”.
Siasat Mimis kencana yang dilakukan oleh Pakubuwono VI bertujuan untuk mengelabui Belanda. Dalam siasat ini pihak Keraton seolah-olah akan bertindak memusuhi Pangeran Diponegoro.
Dengan adanya siasat ini Pakubuwono VI tetap memberikan bantuan pada Belanda sesuai perjanjian. Namun disisi lain Pakubuwono VI mendukung pangeran Diponegoro secara diam-diam dengan memberikan bantuan berupa harta dan makanan.
Baca Juga: Ilmuwan Ungkap Fakta Mengejutkan setelah Kematian, Benarkah Jiwa Meninggalkan Tubuh?
Siasat ini memberikan keuntungan pada Pangeran Diponegoro, karena dapat mengetahui strategi Belanda melalui Kraton.
Selama perang Jawa berlangsung Sri Susuhunan Pakubuwono VI beberapa kali bertemu dengan pasukan Pangeran Diponegoro.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Candi: Jurnal Pendidikan Dan Penelitian Sejarah