INDOZONE.ID – Pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1740 di Sungai Angke Batavia (sekarang Jakarta) merupakan salah satu tragedi paling mengerikan dalam sejarah kolonial Indonesia.
Tragedi ini, yang dikenal dengan nama Pembantaian Angke, merujuk pada Sungai Angke, tempat ribuan warga Tionghoa dibunuh secara brutal oleh pasukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan warga lokal.
Insiden ini tidak hanya mencatatkan angka kematian yang tinggi, tetapi juga meninggalkan luka mendalam dalam hubungan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat setempat.
Pada awal abad ke-18, Batavia berkembang pesat sebagai pusat perdagangan di bawah kekuasaan VOC. Namun, eksploitasi yang dilakukan oleh pihak kolonial menimbulkan ketidakpuasan di kalangan penduduk lokal, termasuk komunitas Tionghoa.
Orang-orang Tionghoa dibawa ke Batavia oleh Belanda untuk bekerja sebagai buruh kasar di perkebunan dan proyek pembangunan. Namun, kondisi kerja yang sangat berat, pajak yang tinggi, dan diskriminasi menyebabkan mereka hidup dalam kesulitan.
Menjelang tahun 1740, ketegangan antara komunitas Tionghoa dan VOC semakin meningkat, terutama akibat kebijakan keras yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Salah satu kebijakan yang memicu kemarahan adalah pembatasan perdagangan bagi komunitas Tionghoa, serta rumor tentang rencana deportasi paksa mereka ke koloni lain. Ketakutan ini memicu pemberontakan kecil dari warga Tionghoa.
Baca Juga: Tragedi Siraj-ud-Daulah: Pengkhianatan Panglima Perang yang Meruntuhkan Bengal
Puncak ketegangan terjadi pada Oktober 1740, ketika kerusuhan meletus di Batavia. Warga Tionghoa yang marah menyerang pos-pos VOC, memicu bentrokan yang tak terhindarkan. Gubernur Valckenier merespons dengan tindakan keras, memerintahkan pasukannya untuk menumpas pemberontakan tersebut. Pada 9 Oktober 1740, pasukan Belanda, dibantu warga lokal yang loyal, melancarkan serangan sistematis terhadap komunitas Tionghoa.
Pembantaian ini berlangsung selama beberapa hari, dengan korban diperkirakan mencapai antara 10.000 hingga 12.000 jiwa. Banyak dari mereka yang dibunuh secara brutal, rumah-rumah dibakar, dan mayat-mayat dibuang ke Sungai Angke. Sungai ini kemudian menjadi saksi bisu dari tragedi yang tak terlupakan. Para korban yang selamat terpaksa melarikan diri, sementara banyak dari mereka yang kehilangan seluruh harta benda.
Pembantaian Angke meninggalkan trauma mendalam bagi komunitas Tionghoa di Batavia dan sekitarnya. Peristiwa ini juga memperburuk hubungan antara komunitas Tionghoa dan penduduk pribumi. Setelah tragedi tersebut, VOC mulai memberlakukan aturan yang lebih ketat terhadap orang Tionghoa, termasuk pembatasan tempat tinggal di kawasan yang dikenal sebagai Pecinan.
Baca Juga: Kerusuhan Sampit 2001: Mengungkap Peristiwa Berdarah di Kalimantan
Tragedi Angke 1740 menjadi simbol kekejaman kolonialisme dan pengingat akan pentingnya menjaga harmoni antar etnis di Indonesia. Meskipun sejarah mencatat peristiwa ini dengan tinta darah, kita sebagai bangsa harus belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
Penting bagi kita untuk mengenang sejarah kelam ini bukan untuk menumbuhkan kebencian, tetapi sebagai pelajaran berharga tentang pentingnya toleransi, keadilan sosial, dan persatuan di tengah keragaman bangsa Indonesia.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Pembantaian Massal, 1740: Tragedi Berdarah Angke. Yayasan Ob