INDOZONE.ID - Krisis ekonomi dunia menjadi tragedi yang terjadi setelah Perang Dunia I berakhir dan menyebabkan berbagai negara terpuruk dalam pembangunannya. Krisis ekonomi dunia atau yang disebut juga sebagai Krisis Malaise terjadi pada tahun 1929.
Malaise menjadi malapetaka besar bagi dunia, karena menimbulkan berbagai permasalahan, seperti kemiskinan, pengangguran, kelebihan produksi, terhambatnya pemberian kredit, dan terganggunya perputaran uang tunai di dunia. Keadaan tersebut menyebabkan gangguan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Nasib Permaisuri dan Selir Kaisar Qianlong, Potret Gila Wanita Pejabat Tiongkok di Era Dinasti Qing
Keadaan ekonomi Indonesia pada awal abad ke-20 (sekitar tahun 1900-an awal) sedang mengalami perkembangan ekonomi karena hasil ekspor yang meningkat.
Terjadi perkembangan bidang produksi ekspor, baik dalam bidang pertanian, pertambangan, serta perluasan kegiatan perkebunan, yang tidak hanya meliputi perusahaan-perusahaan Eropa saja, tetapi juga pada perusahaan-perusahaan kecil masyarakat Bumiputera.
Sedangkan, dalam bidang politik, sebelum peristiwa Malaise orang-orang Indonesia sudah memiliki pengalaman berorganisasi yang mengarah kepada pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Baca Juga: Mengenal Joglo Pencu di Kudus, Rumah Adat dengan Keunikan Tanpa Paku
Indonesia mulai merasakan pukulan berat dari krisis tersebut sejak tahun 1929 sampai 1930. Hal ini karena mayoritas perkebunan milik Pemerintah Hindia-Belanda mengalami kejatuhan harga yang sangat signifikan.
Perkebunan-perkebunan yang terkena dampak krisis, diantaranya adalah perkebunan karet, tebu, tembakau, dan berbagai hal lainnya yang memiliki nilai ekspor. Penurunan harga produk ekspor berdampak kepada masyarakat Bumiputera.
Pemerintah Kolonial tidak memiliki banyak usaha untuk mengatasi hal tersebut, bahkan mereka dengan sengaja menekan para petani.
Dengan sikap demikian, mengakibatkan banyaknya pengangguran di kalangan pekerja Bumiputera, sehingga bermunculan tindakan yang radikal, seperti kerusuhan dan kejahatan.
Meningkatnya pengangguran di kalangan pekerja, kemudian dimanfaatkan oleh organisasi pergerakan nasional, terutama yang berhaluan komunis dan organisasi para buruh, seperti Serikat Buruh Kereta Api atau Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP), Serikat Buruh Percetakan, Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), Personeel Fabriek Bond (PFB), dan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB).
Organisasi-organisasi tersebut berusaha untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi dan politik yang selalu mendapatkan hambatan-hambatan dari Pemerintah Hindia-Belanda.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Seuneubok Lada