Namun, pada tahun 1832, pemerintah Belanda merespons perlawanan Raden Imba II dan Bathin Mangunang dengan mengirim ekspedisi ke Lampung.
Meskipun Raden Imba II berhasil meloloskan diri dan berencana meminta bantuan kepada Sultan Lingga, akhirnya pada tanggal 23 September 1834, dengan kekuatan 21 opsir dan 18 serdadu di bawah pimpinan Kolonel Elout, benteng Raja Gepeh berhasil direbut dan perlawanan masyarakat Lampung berhasil dipatahkan dan tekanan dari Belanda membuat Sultan Lingga menyerahkan Raden Imba II kepada Belanda. Akibatnya, Raden Imba II diasingkan ke Timor.
Puncak perlawanan rakyat Lampung terjadi pada abad ke-19 di bawah pimpinan Raden Inten II, yang terlahir dan dibesarkan dalam semangat perlawanan melawan kolonialisme Belanda. Raden Inten II mempersiapkan pertahanan Lampung dengan membangun benteng-benteng yang dilengkapi dengan meriam-meriam dan ranjau-ranjau darat. Serta juga membeli persenjataan modern dan tradisional untuk memperkuat pasukannya.
Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Waleson menyerang Benteng Merambung yang dijaga oleh pasukan Raden Inten II. Meskipun pasukan Belanda gagal merebut benteng tersebut, pertempuran sengit terjadi antara kedua belah pihak.
Belanda menggunakan strategi politik devide et impera dengan menawarkan perundingan langsung dengan Singa Branta tanpa sepengetahuan Raden Inten II, dalam upaya untuk memecah kekuatan dan keutuhan pasukan Raden Inten II.
Pada Oktober 1856, Raden Inten II meninggal dengan pengkhianatan Raden Ngerapat yang bersekutu dengan Belanda. Raden Ngerapat mengundang Raden Inten II dan memanggil Belanda untuk menyerbu Raden Inten II yang sedang lengah.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Direktorat Pai