Pada tahun 2022, dalam sebuah artikel untuk Konferensi Internasional perdana tentang Naskah Voynich, seorang peneliti Universitas Macquarie menunjukkan bahwa sosok perempuan di dalam buku besar tersebut cenderung muncul di samping objek yang berdekatan atau mengarah ke alat kelamin mereka, sebuah indikasi bahwa teks bisa berisi wawasan ginekologi.
Mengutip sumber-sumber yang dirahasiakan dari Abad Pertengahan, peneliti Keagan Brewer menegaskan, ketakutan abad pertengahan dan tabu seputar anatomi perempuan layak dipertimbangkan dalam konteks penulis Voynich, meskipun jauh dari konklusi dalam mengungkapkan motivasi mereka.
Pada tahun 2009, sampel dari manuskrip tersebut mengungkap bahwa teks itu menggunakan penanggalan radiokarbon, yang menunjukkan perkiraan tanggal antara 1404 dan 1438. Fakta ini kemudian menguak sedikit misteri asal muasal manuskrip ini.
“Kami berasumsi bahwa manuskrip tersebut adalah benda asli abad pertengahan dan bukan pemalsuan modern,” tegas Bowern dan Lindemann dalam analisis mereka pada tahun 2021, mengutip penanggalan karbon, serta penampilan keseluruhan manuskrip tersebut sebagai artefak dari Abad Pertengahan.
“Mereka yang berpendapat bahwa manuskrip tersebut adalah tipuan modern harus berasumsi bahwa Voynich (atau orang lain) memperoleh sejumlah besar perkamen abad pertengahan yang belum tersentuh dan membuat tinta yang sangat konsisten dengan praktik abad pertengahan. Mereka harus berasumsi secara anakronistis bahwa pembuat tipuan modern sedang mencoba mencegah deteksi dengan menghindari tes yang pada saat itu belum ditemukan," tambah para ahli bahasa itu dalam artikel mereka.
Baca Juga: Picatrix, Manuskrip Kuno yang Berisi Ilmu Sihir dan Astrologi
Meskipun pengetahuan tentang siapa yang membuat manuskrip ini dan alasannya masih sangat kurang, para ahli perlahan-lahan menguraikan siapa pemilik manuskrip tersebut sebelumnya. Ada yang mengatakan bahwa salah satu pemilik pertama manuskrip tersebut adalah Kaisar Romawi Suci Rudolf II, yang memerintah sebagian besar Eropa dari tahun 1576 hingga 1612.
Meskipun tidak diketahui kapan dan di mana Rudolf II memperoleh manuskrip tersebut, sebuah prasasti di dalam buku besar itu menunjukkan bahwa dia memberikan teks tersebut kepada apoteker dan dokter pribadinya, Jacobus Sinapius, pada masa pemerintahannya.
Kemudian, naskah itu dipersembahkan kepada para dokter Romawi Suci lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Buku tebal itu pun akhirnya masuk ke perpustakaan filsuf Jesuit Athanasius Kircher, yang menganggap teks membingungkan tersebut sebagai semacam steganografi misterius pada tahun 1666.
Dari sana, kemungkinan besar buku tebal itu pergi ke Villa Mondragone. Saat ini, teks tersebut milik Perpustakaan Buku dan Naskah Langka Beinecke di Universitas Yale.
Siapa penulis asli manuskrip Voynich yang masih menjadi misteri, sering kali membuatnya dianggap sebagai naskah palsu. Sejak ditemukannya manuskrip tersebut pada tahun 1910-an, beberapa pakar berpendapat bahwa manuskrip tersebut hanyalah omong kosong belaka.
Beberapa berpendapat, naskah ini dibuat pada abad pertengahan atau modern agar terlihat seperti bahasa yang dikodekan atau dikonstruksikan. Sementara ahli lainnya menilai bahwa karya tersebut adalah karya asli abad pertengahan, yang mana artikelnya ditulis dalam bentuk bahasa sah yang terlalu sulit untuk diuraikan.
Sampai saat ini, para ahli masih memperdebatkan apakah manuskrip tersebut palsu atau bukan. Meskipun beberapa bukti, termasuk sumber dan bahan dari manuskrip tersebut, mulai menunjukkan bahwa buku tebal tersebut berasal dari abad pertengahan.
Mungkin alat yang paling menjanjikan dalam misi menerjemahkan Naskah Voynich adalah teknik linguistik modern. Dengan menerapkan beberapa pendekatan statistik yang sama dengan yang diterapkan pada bahasa-bahasa yang sudah dikenal, para ahli bahasa mulai mempelajari bahasa Voynich bersama dengan bahasa-bahasa seperti Latin, Arab, dan Ibrani, baik yang tersandi maupun tidak untuk memahami linguistik yang mendasarinya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Discover Magazine