INDOZONE.ID - Upacara Tiwah merupakan ritual terbesar suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah yang beragama Hindu Kaharingan, agama tradisional masyarakat Dayak.
Upacara ini bertujuan untuk menyucikan dan membebaskan roh leluhur yang telah meninggal dunia, dengan cara memindahkan sisa jasad dari kuburan ke tempat yang disebut Sandung atau Balai Nyahu.
Prosesi yang berlangsung selama 6 hari ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi mereka yang telah meninggal, serta bagian dari perjalanan roh menuju alam baka.
Pada hari pertama, dilakukan upacara Tumpah Tua’ Nyemoleh Manhu’ Bebuag’ng Tentuna.
Upacara ini diawali dengan menumpahkan tuak dan memotong ayam untuk diambil darahnya sebagai persembahan.
Setelah itu, doa dipanjatkan kepada Sanghyang, yaitu Tuhan dan dewata, memohon agar selama pelaksanaan upacara Tiwah, semua peserta dan tamu mendapat perlindungan dan berkat.
Baca Juga: Upacara Nyangku Tradisi Sakral Panjalu yang Terus Dilestarikan
Acara dilanjutkan dengan doa kedua, kesisi gola’ jatu’ kelubag’ng gola’ tolus, untuk memohon kesehatan dan kegembiraan bagi peserta upacara.
Pada hari kedua, dilaksanakan upacara Nyawat Sanhug’ng, yaitu pembuatan Sandung, sebuah kotak kayu kecil untuk menyimpan tulang-tulang leluhur yang telah dibersihkan.
Bentuk Sandung menyerupai rumah kecil, tetapi sangat mungil, seperti sangkar burung, dan biasanya ditempatkan di samping rumah utama.
Hari ketiga ditandai dengan upacara Mengawi Sepunhu agat’n Pantar, yaitu membuat sapundu dan pantar.
Sapundu adalah patung kayu ulin berukir yang digunakan untuk mengikat hewan kurban. Dua patung yang dibuat melambangkan laki-laki dan perempuan.
Sementara itu, pantar adalah tiang tinggi dari kayu ulin yang ditanam di tanah dengan kepala hewan kurban ditanam di bawahnya.
Pada masa lalu, kepala manusia dijadikan kurban, tetapi kini telah diganti dengan kepala hewan.
Pada hari keempat, dilaksanakan upacara Meruwat agat’n Kasa’i Minyak, yaitu perawatan dan pembersihan tulang-tulang.
Pada tahap ini, mayat yang telah dikubur digali kembali untuk diambil tulangnya.
Tulang-tulang tersebut dicuci bersih menggunakan air sabun, lalu diolesi minyak kelapa yang dicampur kunyit sebagai simbol penyucian.
Pada hari kelima, dilaksanakan upacara Melomang, yaitu memasak beras ketan yang telah direndam, lalu dibungkus daun pisang.
Bungkusan ini dimasukkan ke dalam ruas bambu dan dimasak. Selain itu, dilakukan juga upacara Menyawat Reranca’an, yaitu menempatkan sesaji yang terdiri dari ketan hitam, ketan putih, ayam panggang, dan beberapa jenis makanan lainnya.
Hewan kurban yang disiapkan untuk hari ini meliputi tiga ekor ayam dan tiga ekor babi.
Puncak upacara terjadi pada hari keenam dengan upacara inti, Labuh Bosar. Pada hari ini, didirikan jarau pemali, yaitu tempat penampungan sumbangan, dan dilakukan melepas unuk, yaitu melepas ikat kepala yang dipakai selama prosesi berlangsung.
Keluarga penyelenggara upacara kemudian melaksanakan makan brata, yaitu makan bersama dengan makanan khusus, seperti ketan hitam, ketan merah, ayam panggang, dan tuak.
Setelah itu, dilakukan tarian khas Tiwah yang disebut Nganjan, di mana para penari mengenakan pakaian khusus Tiwah.
Upacara ini diakhiri dengan tarian Beigal, yang melambangkan kegembiraan dan sukacita setelah upacara Tiwah selesai.
Upacara Tiwah tidak hanya merupakan bentuk penghormatan terakhir kepada leluhur, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan kesejahteraan bagi masyarakat Dayak Ngaju, yang menjunjung tinggi tradisi nenek moyang mereka.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia