Sabtu, 22 JUNI 2024 • 08:05 WIB

2 Sosok yang Jadi Napi Pertama dan Terakhir dalam Sejarah Hukuman Pancung di Perancis

Author

Nicolas Jacques Pelletier (kiri) dan Hamida Djandoubi (kanan)

INDOZONE.ID - Di Perancis, proses hukum pancung pertama kali diberlakukan pada 25 April 1792. Hukuman ini terus berlaku sampai di tanggal 10 September 1977. Bersamaan dengan berakhirnya masa berlaku hukum pancung di Perancis, sejumlah negara di belahan Bumi barat pun mulai memberlakukan peraturan yang sama.

Kita mulai pembahasan ini dari bagaimana hukum pancung mulai diberlakukan untuk pertama kalinya. Sebagai narapidana pertama di Perancis yang dihukum mati dengan cara dipancung, Nicolas Jacques Pelletier harus menerima hukuman ini akibat tindak kriminal yang Ia lakukan.

Nicolas dikenal sebagai salah satu pencuri dari kota Paris yang sempat meresahkan para warga. Ia biasa melakukan aksi pencuriannya dengan cara berkelompok. Tidak hanya mencuri, Nicolas juga kerap menyerang, membunuh hingga memperkosa korbannya.

 Baca Juga: 5 Mitos Kota Gaib di Indonesia: Ada yang Dibuat dengan Teknologi Canggih, Penuh Emas hingga Dihuni Makhluk Halus

Tanggal 14 Oktober 1791 menjadi hari sial bagi Nicolas dan komplotannya, karena pada hari itulah Nicolas dkk berhasil ditangkap oleh kepolisian Paris. Maju ke tanggal 24 Desember 1791, lewat hasil persidangan, Nicolas divonis hukuman mati dengan cara dipancung. Rencananya, Ia akan dieksekusi tepat di malam tahun baru tahun 1791, namun karena saat itu pemerintah bersama aparat kepolisian Perancis belum mempunyai alat pancung, pelaksanaan proses eksekusi mati itu ditunda sampai alat itu siap.

Dalam proses pembuatannya, alat pancung itu dibangun selama kurang lebih 4 bulan lamanya. Sebagai bahan percobaan, pihak berwenang Perancis mencobanya pada mayat yang berasal dari Rumah Sakit Bicetre, Paris. Saat dirasa alatnya sudah siap, barulah mereka akan mencobanya kepada Nicolas.

Tibalah kita di tanggal 25 April 1792, dimana para warga Paris berkumpul di alun-alun kota Paris untuk menyaksikan proses hukuman pancung pertama di negaranya. Proses ini disaksikan oleh Raja Louis XV, sementara yang bertugas sebagai eksekutornya adalah Charles-Henri Sanson. Lalu, ada Pierre Louis Roederer selaku pengawas dari sesi eksekusi mati ini. Ia menugaskan sejumlah aparat di sekitar alun-alun kota untuk berjaga agar proses ini berjalan lancar.

Baca Juga: Menyingkap Finlandia, Negara Paling Bahagia di Dunia yang Ternyata Punya Sisi Gelap

Nicolas dieksekusi mati pada pukul 15:30 waktu setempat. Untuk prosesnya sendiri terbilang sangat cepat, karena dalam hitungan beberapa detik saja, kepala Nicolas langsung terlepas dari batang lehernya.

Uniknya, para warga yang menonton proses eksekusi mati ini malah kecewa karena durasinya yang sangat singkat. Mereka sampai membandingkannya dengan metode eksekusi mati lainnya yang berlaku di Perancis, seperti hukuman gantung, hukuman menggunakan pedang atau hukuman dengan roda berputar.

Rumah Sakit Bicetre

Meski disebut "membosankan" oleh para warga, tapi proses hukuman pancung ini masih menjadi pusat perhatian bagi mereka. Hukuman pancung di Perancis sendiri baru dilarang untuk disaksikan oleh publik pasca proses eksekusi matinya Eugen Weidmann pada 17 Juni 1939. Hal tersebut berasal dari perintah Presiden Albert Lebrun.

 

 

Meski dilarang oleh Presiden Lebrun, tapi metode hukuman pancung di Perancis masih tetap diberlakukan. Namun, untuk prosesnya sendiri dilakukan secara tertutup.

Sampai di tanggal 10 September 1977, hari itu menjadi hari terakhir hukuman pancung diterapkan di Perancis. Sementara narapidana "beruntung" yang mendapat kesempatan itu adalah Hamida Djandoubi.

Ia adalah seorang pria asal Tunis, Tunisia kelahiran 22 September 1949. Ia menetap di kota Marseille sejak tahun 1968 dan bekerja sebagai penata taman. Selang 3 tahun kemudian, Hamida mengalami nasib buruk, dimana Ia harus kehilangan 2/3 bagian dari kaki kanannya akibat tergilas traktor.

Baca Juga: Siapakah Sosok Wanita yang Jadi Model Lukisan Mona Lisa? Ini Dia Jawabannya

Akibat kecelakaan itu, kaki kanan Hamida harus diamputasi, membuatnya depresi dan mulai bersikap temperamental. Sebagai bentuk pelariannya dari depresi, Hamida mulai menjadi seorang pecandu alkohol.

Dalam masa pemulihannya, Hamida dibantu oleh seorang suster bernama Elisabeth Bousquet. Akan tetapi, Hamida malah merasa tidak puas dengan penanganannya Elisabeth. Hingga di tahun 1973, Hamida bisa pulih dari kecelakaan yang Ia alami. Tapi, bukannya bersyukur, Ia malah memulai aksi kriminalnya.

Hamida menculik 2 orang gadis untuk dipaksa menjual diri. Jika mereka menolak, hukuman yang akan menimpa 2 gadis itu berupa sundutan rokok pada bagian dada dan kelaminnya.

Baca Juga: Kisah Biyung Tulung: Hantu Misterius yang Meneriakkan Minta Tolong

Pada 3 Juli 1974, Hamida yang masih kesal dengan Elisabeth, memutuskan untuk menculik sang suster ke rumahnya. Sama halnya dengan nasib 2 gadis yang diculik oleh Hamida sebelumnya, Elisabeth dipaksa untuk menjual dirinya kepada pria hidung belang.

Jika Elisabeth menolak, Ia akan mendapat sundutan rokok di bagian dada dan kelaminnya. Akan tetapi, Elisabeth terus memberontak, hingga akhirnya Ia menjadi korban nyawa pertama dari Hamida. Ia meninggal dengan cara dicekik.

Setelah itu, Hamida pergi keluar untuk membuang jasadnya Elisabeth. Ia menyembunyikan jasad itu di dalam sebuah gubuk.

Lokasi dimana Hamida menyembunyikan jasadnya Elisabeth

Baca Juga: Kisah Veteran Perang Dunia Asal Jerman yang Bantai Satu Sekolah Pakai Penyemprot Api dan Tombak

Hanya butuh waktu 4 hari bagi warga sekitar untuk menemukan jasadnya Elisabeth. Saat itu, ada seorang anak laki-laki yang sedang berada di sekitar gubuk. Karena penasaran usai melihat seseorang yang sedang "tertidur" di dalam gubuk, Ia menjadi penemu dari jasadnya Elisabeth. 

Selang sebulan pasca kejadiannya Elisabeth, Hamida kembali mencoba untuk menculik seorang gadis untuk dipaksa menjadi pelacur. Beruntung, gadis itu berhasil kabur dan melaporkan Hamida ke Polisi. Tak butuh waktu lama bagi Polisi untuk menangkap Hamida di rumahnya, namun pada proses persidangannya, butuh waktu sekitar 3 tahun sampai hakim memberikan vonis hukuman mati kepada Hamida pada 25 Februari 1977.

Hamida saat digiring Polisi menuju tempat eksekusi matinya

Karena pemerintah Perancis sudah melarang pelaksanaan hukuman pancung di depan publik, pada kasusnya Hamida, Ia menjalani proses eksekusi matinya secara tertutup di Lapas Baumettes pada pukul 4:40 waktu setempat. Dengan demikian, hukum pancung di Perancis resmi berakhir.

Akan tetapi, proses eksekusi mati dengan metode selain dipancung rupanya masih berlaku di Perancis. Kemudian pada 9 Oktober 1981, atas perintah Presiden Perancis saat itu, Francois Mitterand, Perancis sudah resmi menghapus hukuman mati dalam peraturan peradilan mereka sampai saat ini.

Dengan diberhentikannya masa berlaku hukum pancung di Perancis, sejumlah negara di wilayah Barat pun mulai ikut menghapuskan metode hukum pancung dalam proses eksekusi mati mereka. Tapi, beberapa diantara negara tersebut ada yang masih memberlakukan hukuman mati kepada sejumlah narapidananya sampai detik ini.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Wikipedia, Murderpedia.org, Tumblr @sonofhistory, European Reference Network

TERPOPULER
TAG POPULER
BERITA TERKAIT
BERITA TERBARU
Kontak Tentang Kami Redaksi Info Iklan Pedoman Media Siber Pedoman AI dari Dewan Pers Kode Etik Jurnalistik Karir