Para pemuka adat dan pemimpin perang Minahasa mengkoordinasikan pasukan rakyat dan mendirikan benteng pertahanan di sekitar Danau Tondano, memanfaatkan medan yang sulit dijangkau untuk memperlambat gerak pasukan Belanda.
Perlawanan berlangsung dengan sengit, terutama di Benteng Moraya, yang menjadi pusat pertahanan terakhir rakyat Minahasa.
Pasukan Belanda yang lebih besar, memiliki persenjataan lebih canggih, dan memiliki pengalaman dalam strategi militer modern, terus melancarkan serangan demi serangan untuk menaklukkan perlawanan Minahasa.
Meskipun rakyat Minahasa bertempur dengan gigih menggunakan senjata tradisional dan taktik gerilya, mereka mulai kewalahan menghadapi kekuatan kolonial yang jauh lebih superior.
Pengepungan yang dilakukan Belanda akhirnya berhasil melemahkan pertahanan rakyat Minahasa, hingga pada tahun 1809, Benteng Moraya jatuh ke tangan Belanda.
Pertempuran terakhir berlangsung dengan heroik, di mana banyak pejuang Minahasa lebih memilih gugur daripada menyerah kepada Belanda.
Mereka yang berhasil selamat menghadapi penindasan yang berat, dengan sebagian besar pemimpin perlawanan ditangkap atau dieksekusi, serta wilayah mereka dihancurkan sebagai bentuk hukuman dari Belanda.
Setelah perang berakhir, Belanda memperketat pengawasan terhadap Minahasa dan menerapkan sistem administrasi kolonial yang lebih ketat untuk mencegah perlawanan serupa di masa depan.
Perang Tondano membawa dampak besar bagi rakyat Minahasa. Secara fisik, perang ini menyebabkan kehancuran besar di wilayah Tondano dan sekitarnya, dengan banyak desa yang hancur dan ribuan rakyat Minahasa yang gugur dalam pertempuran.
Setelah perang, Belanda menerapkan kebijakan kolonial yang lebih ketat, seperti tanam paksa dan perekrutan pemuda Minahasa ke dalam tentara kolonial KNIL. Pengaruh budaya Belanda juga semakin kuat melalui penyebaran agama Kristen oleh misionaris Eropa.
Meskipun mengalami kekalahan, semangat juang rakyat Minahasa tidak padam. Perang Tondano ini menjadi simbol perlawanan rakyat Minahasa terhadap kolonialisme.
Perang Tondano merupakan perlawanan heroik rakyat Minahasa dalam mempertahankan tanah air dan hak mereka dari cengkeraman kolonialisme Belanda.
Meskipun berakhir dengan kekalahan, perang ini menunjukkan keteguhan dan keberanian rakyat Minahasa dalam menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar.
Dengan strategi pertahanan di benteng-benteng alami, khususnya Benteng Moraya, mereka berjuang hingga titik darah penghabisan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Scholarly Publications Leiden University