Kategori Berita
Media Network
Senin, 13 MARET 2023 • 08:05 WIB

Mengingat Tragedi Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610, 189 Orang Meninggal Dunia

Pesawat Lion Air. (Instagram/lionairgroup)

29 Oktober 2018 menjadi hari yang kelam bagi penerbangan di Indonesia lantaran pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang mengalami kecelakan.

Pesawat dengan jenis Boeing 737 MAX 8 yang membawa 181 penumpang, dengan rincian 178 dewasa, 1 anak-anak dan 2 bayi, serta 8 kru terdiri 2 pilot dan 6 awak kabin.

Pesawat hilang kontak pasca lepas landas dari bandara Soekarno Hatta dan kemudian terjatuh di Tanjung Pakis, Karawang. Bahkan bangkai pesawat ditemukan di lepas pantai Laut Jawa.

Kronologi Kejadian

Pesawat lepas landas dari Jakarta pukul 06:20 WIB (23:20 UTC) dan dijadwalkan tiba di Bandar Udara Depati Amir di Pangkal Pinang pukul 07:20.  Pesawat mencapai ketinggian maksimum 5.000 kaki (1.500 m), kemudian naik turun beberapa kali.

Setelah 13 menit mengudara pesawat jatuh di koordinat S 5'49.052" E 107' 06.628" (sekitar Karawang). Data terakhir yang dipancarkan menunjukkan ketinggian 3,650 kaki (1,113 m) dengan kecepatan 345 knot (639 km/h).

Pesawat dikomandoi Capt. Bhavye Suneja dengan copilot Harvino. Kapten pilot sudah memiliki jam terbang lebih dari 6.000 jam terbang dan copilot telah mempunyai jam terbang lebih dari 5.000 jam terbang.

Menurut tim SAR Pangkal Pinang, pilot sempat meminta izin untuk terbang kembali ke Jakarta, tetapi tidak pernah tiba. Hal itu juga diamini oleh Kepala Bagian Kerja Sama dan Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Sindu Rahayu.

"Pesawat itu telah meminta izin untuk kembali ke pangkalan (return to base) sebelum akhirnya hilang dari radar," katanya.

Dinyatakan Jatuh

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengungkapkan bahwa pesawat Lion Air JT 610  jatuh. 

"Kami menyatakan pesawat Lion Air Jakarta-Pangkal Pinang setelah hilang kontak membawa 188 orang, terdiri dari 181 penumpang dan 7 awak. Kita nyatakan jatuh," kata Budi Karya di Bandara Soekarno-Hatta, Senin (29/10/2018).

Baca Juga: Pesawat Lion Air Gagal Mendarat di Labuan Bajo karena Cuaca Buruk, Dialihkan ke Bali

Operasi Pencarian

Operasi pencarian dan penyelamatan dilakukan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) dibantu Angkatan Udara Republik Indonesia. Basarnas mengerahkan sekitar 150 orang menggunakan kapal dan helikopter ke lokasi kejadian.

Bahkan dalam operasi pencarian ini turut dibantu dari TNI yang mengerahkan lima kapal perang dan tim penyelam khusus dari TNI AL. Kelima kapal perang tersebut, yaitu KRI Tenggiri-865, KRI Rigel-933, KRI Sikuda-863, KAL Kobra-867, KAL Sanca-815 serta 5 unit Sea Rider.

Operasi Pencarian Basarnas. (INDOZONE/Harits Tryan)

Fokus pencarian awal adalah ke lokasi yang diduga jatuhnya pesawat Lion Air di sekitar Tanjung Pakis. Terlebih nelayan di perairan Bekasi, Muara Bungin, Muara Gembong menemukan serpihan barang yang diduga milik para korban.

Begitu juga Polri melalui Polisi Air yang turut mengerahkan tiga unit kapal guna membantu proses pencarian.

Hingga akhirnya tim evakuasi gabungan menemukan serpihan puing pesawat. Untuk bagian Basarnas pun menemukan 67 kantong jenazah yang berisikan bagian dari jasad korban hingga hari kelima pencarian tepatnya di tanggal 2 November 2018.

Kepala Basarnas M Syauqi mengatakan seluruh kantong jenazah tersebut sudah diberi label dan dievakuasi ke Rumah Sakit Polri R Said Soekanto untuk diidentifikasi. Menurut dia, jumlah tersebut akan terus bertambah karena pencarian terus dilakukan, terutama di area titik jatuhnya pesawat.

Dia menduga banyak jasad korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 terjebak di dalam bangkai pesawat.

Black box CVR ditemukan

Black box berisi cockpit voice recorder (CVR) pesawat Lion Air PK-LQP nomor penerbangan JT 610 yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, ditemukan. CVR ditemukan oleh penyelam dari Kopaska dan Dislambair yang lokasinya tak jauh dari lokasi jatuhnya pesawat.

Bagian black box yang diduga bagian dari Flight Data Recorder (FDR) berhasil ditemukan dan diangkat oleh tim SAR dan telah diserahkan oleh Syaugi kepada perwakilan dari Komite Keselamatan Transportasi (KNKT) di atas kapal Riset Baruna Jaya BPPT di lokasi pencarian.

Serpihan pesawat Lion Air JT 610. (INDOZONE/Harits Tryan)

Selanjutnya, bagian black box tersebut dibawa ke Posko Terpadu di Jakarta International Container Terminal (JICT) 2 Pelabuhan Tanjung Priok menggunakan Rigid Inflatable Boat (TIB) milik Taifib.

Selain mencari korban yang diperkirakan masih hidup, operasi pencarian juga ditujukan untuk mencari black box milik pesawat Lion Air JT 610. Tujuannya guna mengetahui situasi yang sebenarnya terjadi di dalam pesawat.

Teriakan Allahu Akbar dari CVR

Setelah peristiwa kejadian jatuhnya pesawat Lion Air JT 610, ,media Reuters secara eksklusif telah melaporkan bocoran isi rekaman CVR. Laporan itu menulis bahwa para pilot Lion Air JT610 sempat membuka-buka sebuah buku panduan sesaat sebelum pesawat jatuh ke dalam air.

Pilot bermaksud mencari tahu alasan kenapa pesawat yang dikemudikannya meluncur ke bawah, tetapi tidak dapat menemukannya. Bahkan, dalam laporannya, Reuters menyebut sesaat sebelum pesawat jatuh, kopilot pesawat itu sempat mengucapkan kalimat "Allahu Akbar".

Namun Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membantah rekaman CVR yang bocor di media. Dia bilang rekaman itu tak sesuai dengan rekaman yang sesungguhnya.

"Isi rekaman tak sama dengan apa yang beredar di media," kata Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono dalam siaran persnya.

Baca Juga: Pilot Lion Air Dinyatakan Negatif Narkoba Usai Pesawat Tabrak Garbarata Bandara Merauke

Hasil Investigasi KNKT

KNKT harus mengeluarkan hasil investigasi sebelum satu tahun peristiwa. Dalam kesimpulannya, KNKT menyebut ada faktor-faktor yang berkontribusi dan saling berkaitan dalam peristiwa jatuhnya Lion Air JT 610.

"Sembilan hal ini adalah sembilan hal yang terjadi di hari itu yang terjadi kecelakaan. Apabila salah satu dari sembilan hal ini tidak terjadi, mungkin tidak terjadi kecelakaan. Saling terkait satu sama lain dan mengarah ke kecelakaan," kata Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo dalam jumpa pers.

Ini 9 Faktor kecelakaan menurut KNKT

1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat

2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi

3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan

4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan

5. Indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor

6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya

7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi

8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.

9. Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini

Hasil investigasi itu KNKT memberikan sejumlah rekomendasi ke Lion Air, Federal Aviation Administration (FAA), Airnav dan Dirjen Perhubungan Udara.

Boeing 737 Max Sempat Dilarang Terbang

Tujuh belas bulan setelah Boeing 737 MAX 8 diluncurkan pada 2017, Lion Air Penerbangan 610, sebuah pesawat 737 MAX 8 yang relatif baru, jatuh beberapa menit setelah lepas landas pada 29 Oktober 2018, menewaskan 189 penumpang dan kru. Kurang dari lima bulan kemudian, pada 10 Maret 2019, Ethiopian Airlines Penerbangan 302, juga sebuah pesawat 737 MAX 8, jatuh enam menit setelah lepas landas.

Karena penyelidikan kecelakaan pertama belum rampung sampai kecelakaan kedua, dan fakta bahwa kedua kecelakaan pesawat tersebut terjadi tak lama setelah lepas landas, berbagai maskapai penerbangan melarang terbang armada-armada Boeing 737 MAX mereka baik secara sukarela atau diperintahkan oleh otoritas pengaturan penerbangan lokal mereka.

Pesawat Boeing 737 Max. (REUTERS/LINDSEY WASSON)

Untuk pertama kalinya dalam hampir 2 tahun sejak dilarang terbang mulai Maret 2019 akibat 2 kecelakaan mematikan, pesawat Boeing 737 MAX akhirnya mengangkut penumpang dalam penerbangan komersial di AS.

Adalah penerbangan American Airlines yang lepas landas pada Selasa (29/12/2020) dari Bandara Internasional Miami dan mendarat di Bandara LaGuardia New York sekitar 2 setengah jam kemudian.

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

Mengingat Tragedi Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610, 189 Orang Meninggal Dunia

Link berhasil disalin!