INDOZONE.ID - Reog Cemandi itu kesenian tradisional yang punya keunikan sendiri. Kalau Reog Ponorogo biasanya identik dengan dadak merak yang megah, Reog Cemandi lebih sederhana tapi tetap menarik.
Kesenian ini berasal dari Desa Cemandi di Sidoarjo. Bedanya dengan Reog Ponorogo, Reog Cemandi nggak pakai dadak merak, tapi lebih ke kendang yang ditutup satu sisi aja, mirip dengan Reog Kendang dari Tulungagung atau Reog Bulkio dari Blitar.
Ceritanya dimulai dari seorang santri bernama Abdul (Dul) Katimin yang berasal dari Pesantren Tegalsari Ponorogo. Tahun 1917, Katimin selesai belajar di pesantren, lalu jalan kaki pulang ke Sidoarjo.
Di perjalanan, dia ketemu sama beberapa pemuda di Pagerwojo yang lagi main kendang. Tapi, sayangnya mereka belum ngerti agama dengan baik.
Baca Juga: Kesaktian Pecut Reog Ponorogo, Cambuk Gaib Dipercaya Bisa Menghancurkan Gunung
Katimin akhirnya ngajarin mereka tentang Islam. Beberapa bulan kemudian, pemuda-pemuda itu ikut Katimin ke Desa Cemandi dan mulai ngebangun surau.
Meskipun sudah ada surau, mereka tetap aja main kendang dan nari. Katimin lihat ini sebagai peluang untuk dakwah, jadi dia ubah cara main kendangnya biar lebih mirip rebana, supaya banyak orang yang tertarik ikut shalat berjamaah.
Namun, sekitar tahun 1920-an, Belanda mulai datang ke desa itu buat narik pajak dari warga. Katimin pun nggak tinggal diam, dia minta warga buat bikin kendang dari kayu nangka dan topeng dari kayu randu, lalu bikin pertunjukan buat ngusir tentara Belanda.
Ajaibnya, tentara Belanda mundur dan nggak berani lagi ganggu desa itu. Sejak saat itu, Reog Cemandi jadi simbol perlawanan terhadap penjajah.
Dalam pertunjukan Reog Cemandi, ada dua tokoh utama: Barongan Lanang (laki-laki) dan Barongan Wadon (perempuan).
Baca Juga: Kisah Barongan Tua Reog Ponorogo, Selalu Kembali ke Pemilik Pertama Jika Dijual
Barongan Lanang pakai topeng merah dengan kumis dan pakaian serba hitam, sementara Barongan Wadon pakai kebaya dan kain panjang. Di samping mereka, ada penabuh kendang dan pemain angklung yang mengiringi tariannya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Budaya.data.kemdikbud.go.id