Sebelum Jadi Tempat Raksasa Industri Perkebunan, Seperti Ini Cara Orang Deli Menyambung Hidup
INDOZONE.ID - Apa yang diperhatikan sebagai tempat biasa, sekarang wilayah Deli dikenal sebagai daerah kaya perkebunan tembakau kelas dunia. Padahal sebelum wilayah tersebut masih terlihat sebagai hutan belantara yang sunyi dan dihuni binatang buas.
Masa itu terjadi sebelum masa Liberal, ketika kapitalisme masuk lewat tangan-tangan investor kolonial Belanda, Deli kala itu memang kawasan yang jauh dari hingar bingar keramaian modal industri.
Populasi penduduk di wilayah Deli yang pada era kini termasuk bagian Provinsi Sumatera Utara bisa dikata masih rendah pada tahun 1860-an.
Data menunjukan bahwa cuma terdapat sekitar 100.000 jiwa. Penyebaran masyarakatnya terjalihat dari beragam wilayah seperti ada di kampung-kampung kecil, terutama di pinggir sungai yang jadi jalur utama transportasi. Suku Batak tinggal wilayah pedalaman, dan suku Melayu menempati pesisir.
BACA JUGA: Sejarah Perkebunan Teh dan Kopi di Bandung, Warisan Cultuurstelsel Kolonial Belanda
Kesederhanaan ialah gaya hidup utama bagi masyarakat Deli waktu itu. Gubuk yang beratap rumbia dengan dinding dari anyaman bambu adalah corak dari rumah mereka.
Tidak ada jalan besar, listrik, atau infrastruktur lainnya. Namun tidak berarti mereka tidak bisa hidup. Mereka justru punya cara bertahan hidup yang sesuai dengan kondisi alam.
Mata pencaharian utama mereka adalah bertani secara tradisional, dikenal sebagai huma atau ladang berpindah. Mereka menebang hutan dengan parang dan kapak, lalu membuka lahan untuk menanam kelapa, lada, padi ladang, dan juga tembakau.
Menariknya, tembakau saat itu belum dikomersialkan besar-besaran. Hanya ditanam untuk kebutuhan pribadi, seperti rokok linting atau konsumsi lokal.
Selain bertani, masyarakat juga berburu di hutan dan menangkap ikan di sungai. Sungai-sungai di Deli saat itu bukan cuma sumber air, tapi juga “jalan tol” utama untuk perdagangan.
Mereka membawa hasil panen dan hasil hutan pakai sampan ke pasar-pasar kecil, bahkan sampai ke pelabuhan di pesisir. Fakta menarik lainnya, pada awal abad ke-19, masyarakat lokal Deli sudah melakukan ekspor komoditas ke luar negeri.
Lada adalah salah satu produk penting bernilai jual tinggi yang diangkut ke Penang dan daerah lain di Semenanjung Malaya. Ini memperlihat bahwa jaringan ekonomi regional sudah terkoneksi walaupun hidup di wilayah “pinggiran".
Segera, segalanya mulai mengalami pergeseran dari jalur sebelumnya pada tahun 1863. Terdapat seorang pengusaha Belanda bernama Jacobus Nienhuys datang ke Deli dan dia tertarik akan kualitas tanahnya.
Lalu segeralah dia mencoba mendapat persetujuan dari Sultan Deli untuk membuka lahan perkebunan tembakau, yang dilakukan dengan lancar. Pada titik tersebutlah awal mula sejarah Deli sebagai kawasan industri perkebunan modern mulai menampakan diri.
Nienhuys ini tidak cuma membawa persetujuan namun turut serta teknologi, modal, dan jaringan pasar internasional ikut bersamanya. Ia pada akhirnya mendirikan Deli Maatschappij lalu melakukan pembukaan lahan kebun tembakau dengan masif.
Daun tembakau Deli ternyata punya kualitas tinggi, cocok untuk bahan pembungkus cerutu. Harganya langsung melejit di pasar Eropa. Deli pun berubah jadi “surga” bagi investor Belanda.
Namun, pembangunan kebun tidak mudah. Hutan-hutan harus ditebang, rawa dikeringkan, dan tanah diolah dengan alat sederhana. Pekerjaan ini berat, melelahkan, dan berisiko.
Sayangnya, penduduk lokal tidak berminat jadi pekerja tetap di kebun. Alasannya sederhana: terlalu berat, jauh dari kampung, dan mereka tidak terbiasa dengan sistem kerja upahan.
Akhirnya, pihak perkebunan mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, terutama dari Jawa, Cina, dan Penang. Mereka diikat dengan kontrak ketat dan tinggal di barak-barak khusus. Sementara itu, orang-orang Melayu lokal hanya dipekerjakan sebagai buruh lepas, tanpa ikatan resmi.
Meski begitu, masuknya sistem perkebunan membawa perubahan besar bagi Deli. Dari kawasan hutan yang sepi, Deli menjelma jadi pusat industri tembakau kelas dunia. Jalur transportasi dibuka, pelabuhan diperluas, dan hubungan dagang semakin ramai. Kapitalisme pun perlahan mengubah wajah Sumatera Timur.
Kini, sejarah itu menjadi bagian dari warisan kolonial yang tak bisa dilepaskan dari identitas Deli. Dari kehidupan subsisten yang sederhana hingga jadi pusat produksi tembakau dunia, semuanya dimulai dari tangan-tangan warga lokal yang pernah hidup bersahaja di tengah hutan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Dari Petani Tradisional Menjadi Koeli Perkebunan