INDOZONE.ID - Sumbawa, 1815 – Letusan Gunung Tambora pada April 1815 mengguncang dunia, tetapi di Sumbawa, malapetaka tak berhenti di lava.
Abu yang menyelimuti langit mencemari air, memicu wabah disentri yang merenggut ribuan nyawa hingga 1816. Air yang dulu menghidupi kini jadi racun, menyisakan derita yang tak terbayangkan.
Latar Belakang: Awal dari Tragedi
Pada 10 April 1815, Gunung Tambora di Sumbawa meletus dengan kekuatan dahsyat, mencatatkan Indeks Daya Ledak Vulkanik 7—salah satu bencana terbesar dalam sejarah.
Ledakan itu memusnahkan Kerajaan Tambora dan Sanggar, menewaskan sekitar 10.000 orang akibat aliran piroklastik dan tsunami. Abu vulkanik menutupi langit, menyebabkan kegelapan tiga hari dan mencemari sungai serta mata air.
Ladang hancur, kelaparan melanda ribuan jiwa. Pada akhir 1815, air kotor, sanitasi buruk, dan pengungsi yang berdesakan menciptakan ladang subur bagi wabah disentri yang mematikan.
Baca Juga: Kisah Mistis Gunung Padang, Benarkah Jadi Piramida Tertua di Dunia dari Cianjur?
Fakta Wabah Disentri: Maut dalam Setiap Tetes
Air Berubah Jadi Racun: Pada akhir 1815, sungai-sungai di Sumbawa yang dulu jernih kini keruh oleh abu vulkanik dari letusan Tambora.
Abu ini menyuburkan bakteri Shigella, monster tak terlihat yang memicu disentri. Satu teguk air bisa berarti kematian, dan penduduk tak punya pilihan lain untuk minum.
Disentri dan Shigella Penyebabnya: Disentri adalah penyakit mematikan akibat infeksi bakteri Shigella, mikroba jahat yang berkembang di air kotor dan menyerang usus.
Gejalanya—diare berdarah, demam, dan kram perut—menyiksa tubuh hingga dehidrasi parah. Pada 1815-1816, tanpa obat modern, disentri menjadi hukuman mati bagi penduduk yang sudah rapuh.
Desa-Desa Jadi Perangkap: Wabah melesat dari Sumbawa ke Lombok dan Bali pada 1816. Di kampung-kampung penuh pengungsi, genangan air tercemar bagai jebakan, menyebarkan penyakit laksana asap yang tak terlihat.
Korban yang Terkubur: Letusan 1815 merenggut 10.000 nyawa seketika. Disentri menambah ribuan kematian lagi hingga 1816, namun jumlah pastinya lenyap dalam kegelapan sejarah.
Catatan Kelam: Pada 1815, pejabat Belanda mencatat, “Sumbawa bagai tanah mati.” Disentri bukan sekadar penyakit—ia adalah hantaman terakhir bagi mereka yang bertahan.
Baca Juga: Ramalan 2 Gunung Berapi yang Diprediksi Meletus Dahsyat di tahun 2025, Ada di Indonesia?
Dampak: Derita yang Tak Terlupakan
Wabah disentri memperdalam luka Tambora. Pada 1815-1816, desa-desa di Sumbawa lenyap, banyak yang tak pernah bangkit.
Kelaparan dan penyakit bersatu, menciptakan lingkaran maut yang menjerat pengungsi hingga ke Lombok dan Bali. Warisan budaya Kerajaan Tambora terputus, tradisi lisan musnah bersama para penyampainya.
Catatan Belanda dari 1815-1816 melukis gambaran kelam: perdagangan lumpuh, ketakutan merajalela. Wabah ini membuktikan bahwa bencana alam bisa melahirkan tragedi kemanusiaan yang lebih dalam.
Penutup: Bisik dari Masa Lalu
Wabah disentri pasca Tambora 1815-1816 adalah kisah kelam tentang air yang jadi racun dan harapan yang terkubur.
Catatan sejarah berbisik: krisis kesehatan bisa lebih mematikan daripada letusan itu sendiri. Kini, di era modern, tragedi ini mengingatkan kita untuk menjaga air bersih dan mempersiapkan diri menghadapi bencana.
Baca Juga: Misteri Gunung Tambora, Letusan yang Mengguncang Dunia Pada Abad 19
Tambora bukan cuma masa lalu—ia adalah peringatan agar kita tak mengulang derita yang sama.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: S F K Aka. (2020). Tambora Sebuah Perjalanan Visual