Hari Ini, 2 Abad Lalu: Letusan Gunung Tambora di Sumbawa Terdahsyat, Akibatkan 'Tahun Tanpa Musim Panas'
INDOZONE.ID - Dua abad plus 9 tahun telah berlalu semenjak letusan pertama gunu Tambora di Sumbawa, Indonesia. Efeknya pun tak tanggung-tanggung karena berdampak ke seluruh dunia.
Letusan pertama gunung Tambora dimulai 10 April 1815 silam. Letusan tersebut disebut-sebut terbesar dalam sejarah.
Letusan tersebut diikuti dengan letusan lain yang berlangsung sama enam bulan hingga tahun. Mengutip situs Earth Observatory dari NASA, letusannya menurunkan suhu global kegagal panen, hingga disebut tahun tanpa musim panas.
Berikut data-data yang Indozone rangkum dari berbagai sumber.
Gunung Api Tidur yang Terbangun
Sebelum tahun 1815, Gunung Tambora mengalami masa ketidakaktifan selama beberapa abad dan dianggap sebagai gunung berapi "tidur", seperti yang ditulis dalam Journal of Volcanology and Geothermal Research. Hal ini disebabkan oleh pendinginan magma hidrat di dalam dapur magma yang tertutup.
Baca Juga: Tragedi Tambora, Letusan Gunung Berapi Terparah dalam Sejarah Tewaskan 71.000 Jiwa
Tiga tahun sebelum peritiwa terjadi, gunung Tambora mulai menunjukkan aktivitas dengan gemuruh di kalderanya dan munculnya awan hitam. Letusan kecil pertama terjadi pada tanggal 5 April 1815, diikuti dengan suara guruh yang terdengar hingga ke daerah jauh seperti Makassar di Sulawesi, Batavia (sekarang Jakarta) di Pulau Jawa, hingga Ternate di Maluku (1.400 km dari Tambora).
Ledakan dan Hancurnya Desa Tambora pada 10 April 1815
Pada pagi tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai turun di Jawa Timur, disertai dengan suara guruh yang terus terdengar hingga tanggal 10 April 1815. Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan semakin kuat dengan tiga lajur api yang memuncak dan bergabung, mengubah seluruh gunung menjadi aliran lava yang besar.
Pada pukul 8:00 malam, batuan apung dengan diameter 20 cm mulai turun, diikuti oleh hujan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas juga mengalir menuju laut di sepanjang sisi semenanjung, menghancurkan desa Tambora.
Ledakan besar terus terdengar hingga sore tanggal 11 April. Abu menyebarkan hingga ke Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Di Batavia, tercium bau "nitrat", sementara hujan deras bercampur dengan abu tefrit turun, akhirnya mereda antara tanggal 11 dan 17 April 1815.
Baca Juga: 9 Kisah dan Peristiwa Besar yang Terjadi di Bulan Ramadhan, Apa Saja Ya?
Kesaksian Sir Thomas Stamford Bingley Raffles
Memori letusan ini juga diungkapkan oleh negarawan Britania dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, dalam buku memoarnya yang terbit 1830 silam. Ia mengisahkan tentang suara meriam yang didengar, padahal dirinya saat itu berada jauh dari lokasi.
"Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat," tulis Raffles.
Raffles pun memrintahkan Letna Philips untuk mengunjungi Sumbawa. Sang Letnan pun memberikan kesaksian akan apa yang dilihat pasca kejadian letusan.
"Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah roboh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan," katanya.
Dampak
Tsunami dahsyat melanda pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan gelombang setinggi lebih dari 4 m di Sanggar pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1–2 m juga terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam, sementara tsunami setinggi 2 m melanda Maluku.
Semua vegetasi di pulau hancur. Pohon-pohon yang roboh bersatu dengan abu vulkanik dan terbawa ke laut, membentuk rakit-rakit dengan rentang lebih dari 5 km.
Pada tanggal 23 April, puncak gunung masih terbungkus awan tebal berisi abu. Meskipun letusan berhenti pada tanggal 15 Juli, asap masih terlihat pada tanggal 23 Agustus.
Kejadian gempa bumi dan kebakaran masih tercatat pada bulan Agustus 1819, empat tahun setelah letusan.
Baca Juga: Letusan Gunung Api Tonga Bisa Bikin Gelombang Tsunami yang Setara dengan Kecepatan Suara
Asap letusan mencapai stratosfer, mencapai ketinggian lebih dari 43 km. Partikel-partikel abu jatuh selama 1 hingga 2 minggu setelah letusan, tetapi sebagian tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun, melayang di ketinggian 10–30 km.
Partikel-partikel ini dihembuskan melintasi dunia oleh angin, menciptakan fenomena yang luar biasa. Di London, Inggris, antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 serta 3 September dan 7 Oktober 1815, matahari terbenam memperlihatkan warna yang tidak biasa.
Cahaya senja memancar dengan nuansa oranye atau merah di dekat horizon, sementara di atasnya terlihat ungu atau merah muda.
Tahun Tanpa Musim Panas
Cukup banyak abu yang masuk ke atmosfer dari letusan pada 10 April untuk mengurangi sinar matahari yang jatuh ke permukaan Bumi, menyebabkan pendinginan global, yang mengakibatkan "tahun tanpa musim panas" pada tahun 1816.
Musim panas tahun 1816 menyaksikan kondisi cuaca yang berubah di negara-negara Belahan Utara, dikenal sebagai "Tahun tanpa musim panas". Suhu rata-rata global turun sekitar 0,4-0,7 °C, cukup untuk mengakibatkan masalah pada pertanian global.
Pada tanggal 4 Juni 1816, cuaca es terjadi di Connecticut, diikuti oleh suhu dingin yang melanda hampir seluruh New England pada hari berikutnya. Pada tanggal 6 Juni 1816, salju turun di Albany, New York, dan Dennysville, Maine.
Kondisi serupa berlanjut selama setidaknya tiga bulan, menyebabkan gagal panen di Amerika Utara, sementara Kanada mengalami musim panas yang sangat dingin. Salju setebal 30 cm bahkan terjadi dekat Kota Quebec dari tanggal 6 hingga 10 Juni 1816.
Baca Juga: Studi Ini Ungkapkan Darah Burung MilikI Peran Penghangat di Musim Dingin!
Tahun 1816 menjadi tahun kedua terdingin di Belahan Bumi Utara sejak tahun 1400 Masehi, setelah letusan gunung Huaynaputina di Peru pada tahun 1600.
Dianggap sebagai awal mula wabah tifus di Eropa
Perubahan iklim ini dianggap sebagai penyebab dari wabah tifus di Eropa Tenggara dan Laut Tengah bagian timur antara tahun 1816 dan 1819. Di Amerika Utara, banyak ternak mati selama musim dingin tahun 1816-1817 karena suhu udara yang rendah dan hujan lebat.
Gagal panen juga terjadi di Kepulauan Britania, menyebabkan kelaparan di Wales dan Irlandia utara serta barat daya.
Krisis pangan merajalela di Jerman, dengan harga makanan yang melonjak tajam, yang kemudian memicu demonstrasi, kerusuhan, dan perampokan di berbagai kota di Eropa. Hal ini menjadi salah satu kelaparan terparah pada abad ke-19.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Berbagai Sumber