Nienhuys ini tidak cuma membawa persetujuan namun turut serta teknologi, modal, dan jaringan pasar internasional ikut bersamanya. Ia pada akhirnya mendirikan Deli Maatschappij lalu melakukan pembukaan lahan kebun tembakau dengan masif.
Daun tembakau Deli ternyata punya kualitas tinggi, cocok untuk bahan pembungkus cerutu. Harganya langsung melejit di pasar Eropa. Deli pun berubah jadi “surga” bagi investor Belanda.
Namun, pembangunan kebun tidak mudah. Hutan-hutan harus ditebang, rawa dikeringkan, dan tanah diolah dengan alat sederhana. Pekerjaan ini berat, melelahkan, dan berisiko.
Sayangnya, penduduk lokal tidak berminat jadi pekerja tetap di kebun. Alasannya sederhana: terlalu berat, jauh dari kampung, dan mereka tidak terbiasa dengan sistem kerja upahan.
Akhirnya, pihak perkebunan mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, terutama dari Jawa, Cina, dan Penang. Mereka diikat dengan kontrak ketat dan tinggal di barak-barak khusus. Sementara itu, orang-orang Melayu lokal hanya dipekerjakan sebagai buruh lepas, tanpa ikatan resmi.
Meski begitu, masuknya sistem perkebunan membawa perubahan besar bagi Deli. Dari kawasan hutan yang sepi, Deli menjelma jadi pusat industri tembakau kelas dunia. Jalur transportasi dibuka, pelabuhan diperluas, dan hubungan dagang semakin ramai. Kapitalisme pun perlahan mengubah wajah Sumatera Timur.
Kini, sejarah itu menjadi bagian dari warisan kolonial yang tak bisa dilepaskan dari identitas Deli. Dari kehidupan subsisten yang sederhana hingga jadi pusat produksi tembakau dunia, semuanya dimulai dari tangan-tangan warga lokal yang pernah hidup bersahaja di tengah hutan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Dari Petani Tradisional Menjadi Koeli Perkebunan