Memori letusan ini juga diungkapkan oleh negarawan Britania dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, dalam buku memoarnya yang terbit 1830 silam. Ia mengisahkan tentang suara meriam yang didengar, padahal dirinya saat itu berada jauh dari lokasi.
"Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat," tulis Raffles.
Raffles pun memrintahkan Letna Philips untuk mengunjungi Sumbawa. Sang Letnan pun memberikan kesaksian akan apa yang dilihat pasca kejadian letusan.
"Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah roboh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan," katanya.
Kondisi gung Tambora. (Wikipedia)
Tsunami dahsyat melanda pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan gelombang setinggi lebih dari 4 m di Sanggar pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1–2 m juga terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam, sementara tsunami setinggi 2 m melanda Maluku.
Semua vegetasi di pulau hancur. Pohon-pohon yang roboh bersatu dengan abu vulkanik dan terbawa ke laut, membentuk rakit-rakit dengan rentang lebih dari 5 km.
Pada tanggal 23 April, puncak gunung masih terbungkus awan tebal berisi abu. Meskipun letusan berhenti pada tanggal 15 Juli, asap masih terlihat pada tanggal 23 Agustus.
Kejadian gempa bumi dan kebakaran masih tercatat pada bulan Agustus 1819, empat tahun setelah letusan.
Baca Juga: Letusan Gunung Api Tonga Bisa Bikin Gelombang Tsunami yang Setara dengan Kecepatan Suara
Asap letusan mencapai stratosfer, mencapai ketinggian lebih dari 43 km. Partikel-partikel abu jatuh selama 1 hingga 2 minggu setelah letusan, tetapi sebagian tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun, melayang di ketinggian 10–30 km.
Partikel-partikel ini dihembuskan melintasi dunia oleh angin, menciptakan fenomena yang luar biasa. Di London, Inggris, antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 serta 3 September dan 7 Oktober 1815, matahari terbenam memperlihatkan warna yang tidak biasa.
Cahaya senja memancar dengan nuansa oranye atau merah di dekat horizon, sementara di atasnya terlihat ungu atau merah muda.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Berbagai Sumber