INDOZONE.ID - Pada tanggal 26 Juli 2016 di kota Sagamihara, prefektur Kanagawa, Jepang, telah terjadi kasus penusukan massal yang menyebabkan 19 orang meninggal dan 26 orang mengalami luka-luka.
Kejadiannya terjadi pada pukul 02:10 pagi waktu setempat di sebuah pusat pelayanan pasien disabilitas. Menurut kesaksian para penjaga, pelaku menerobos masuk menggunakan palu, kemudian Ia menyandera para penjaga dan mengambil kunci kamar para pasien.
Si pelaku menerobos masuk ke dalam kamar pasien yang sedang tertidur, lalu Ia melakukan aksi sadisnya dengan menusuk pasien di bagian leher. Selama 20 menit, para penjaga yang disekap berhasil meloloskan diri dan segera menghubungi Polisi.
Akan tetapi, Polisi baru datang 30 menit setelah mendapat panggilan dari penjaga bangsal.
Sialnya, pihak kepolisian terlambat 10 menit ke lokasi, karena si pelaku sudah kabur duluan sebelum Polisi datang. Polisi melakukan investigasi di tempat kejadian dan menemukan para korban yang jumlahnya 45 orang.
Beruntung, si pelaku menyerahkan diri ke Polisi sekitar 2 jam setelah kejadian. Ia meninggalkan barang bukti berupa pisau di dalam mobilnya yang Ia tinggalkan di kantor Polisi setempat.
Pelaku diketahui bernama Satoshi Uematsu, seorang pria asli Sagamihara kelahiran 20 Januari 1990. Ayahnya Satoshi adalah seorang Guru Seni Budaya di sebuah Sekolah Dasar.
Baca Juga: Richard Jewell, Sang Pahlawan Kasus Pengeboman Olimpiade Musim Panas 1996
Ia sempat mengikuti jejak sang Ayah menjadi seorang Guru, sebelum akhirnya pindah menjadi salah satu penjaga di bangsal tempat terjadinya kasus tersebut. Satoshi mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai penjaga bangsal pada bulan Februari tahun 2016.
Sebenarnya, kedua orang tuanya Satoshi sudah lama pindah, jadi Satoshi tinggal seorang diri di rumahnya yang berada di Sagamihara. Kasus yang menimpa Satoshi membuat para tetangganya terkejut, mereka tidak menyangka kalau Satoshi yang mereka kenal sebagai anak yang baik dan ramah menjadi pelaku dibalik kasus penusukan massal tersebut.
Menariknya, tak lama setelah mengundurkan diri dari bangsal tempat Ia bekerja, Satoshi pernah mengirim surat ke Juru Bicara Dewan Perwakilan Rakyat Jepang saat itu, Tadamori Oshima. Ia dengan nekat mengunjungi rumahnya Oshima di Tokyo seorang diri, tentunya usaha Satoshi tersebut mendapat pencekalan dari pihak keamanan rumahnya Oshima.
Baca Juga: Skynliv Air Show Disaster, Kecelakaan Atraksi Pesawat Terbang Paling Mematikan di Dunia
Satoshi tidak menyerah begitu saja, karena pada keesokan harinya, Ia kembali ke rumahnya Oshima hanya untuk menitipkan suratnya saja, berbeda dengan perbuatannya di hari sebelumnya yang nekat ingin mengirimkan suratnya langsung kepada Oshima.
Selain Oshima, Satoshi juga mengirimkan surat serupa kepada Perdana Menteri Jepang saat itu, Shinzo Abe. Dari kedua surat yang sudah Ia berikan, isinya adalah penawaran diri Satoshi yang siap untuk "mencabut penderitaan" para warga disabilitas di Jepang. Tujuannya sendiri terdengar sangat klise, yaitu demi masa depan Jepang yang lebih baik karena dapat memajukan perekonomian Jepang dan meminimalisir jumlah korban jika Perang Dunia Ketiga terjadi.
Belum berhenti sampai situ, Satoshi kembali mengirim surat kepada staf pemerintah Sagamihara dengan menyebutkan rencana kriminalnya. Ia menargetkan 2 pusat pelayanan pasien disabilitas setempat dan menyebut kalau dirinya akan menghabisi nyawa para pasiennya.
Upayanya Satoshi terus berlanjut selama 1 bulan dan berhasil membuat pemerintah kota Sagamihara ketar-ketir. Pada akhirnya, Satoshi ditangkap untuk dilakukan pemeriksaan kejiwaan, dimana hasilnya menyebutkan kalau kondisi psikis Satoshi baik-baik saja. Puncaknya, Satoshi pun melakukan aksinya pada 26 Juli 2016.
Pada 20 Februari 2017, Satoshi kembali menjalani pemeriksaan kejiwaan dengan hasil yang positif. Persidangannya Satoshi baru digelar pada 24 Februari 2019. Berbagai macam upaya banding pun dilakukan oleh pihak pengacaranya Satoshi supaya Dia bisa dibebaskan.
Hingga tanggal 17 Februari 2020, Satoshi pun mendapat vonis hukuman mati. Keputusan juri tetap diperkuat melalui 2 kali proses persidangan yang digelar pada tanggal 16 dan 30 Maret 2020.
Sampai saat ini, Satoshi masih menunggu kapan hari terakhirnya tiba. Sementara itu, kasus ini dinobatkan sebagai kasus penusukan massal paling mematikan di Jepang untuk saat ini.***
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: The Standard