INDOZONE.ID - Jepang dikenal dengan identitas budaya yang kuat, salah satunya melalui nilai-nilai Bushido.
Berakar pada masa Kamakura (1192-1333) ketika Samurai pertama kali muncul sebagai kelas prajurit terhormat, Bushido bukan sekadar kode etik prajurit, melainkan filosofi kehidupan yang mendalam.
Bushido atau "jalan para pejuang" adalah sebuah prinsip yang mencakup kejujuran, keberanian, kesetiaan, dan penghormatan, yang membentuk karakter bangsa Jepang hingga kini.
Perjalanan Bushido dalam membentuk karakter Jepang dimulai dari peran Samurai yang muncul di tengah lemahnya pemerintahan pusat pada periode Heian (794-1192).
Para bangsawan, yang menguasai wilayah-wilayah terpencil, merekrut prajurit-prajurit handal yang kemudian dikenal sebagai Samurai.
Dari sinilah, lahir etika Bushido yang pada dasarnya mengajarkan bahwa kehormatan dan harga diri adalah segalanya bagi seorang Samurai.
Baca Juga: Kisah Pemberontakan Samurai Klan Satsuma dan Saigo Takamori yang Ubah Sejarah Jepang
Bushido dipengaruhi oleh berbagai filosofi dan agama yang masuk ke Jepang, seperti Zen Budha dan ajaran Konfusius.
Zen mengajarkan meditasi dan introspeksi diri yang dalam, cocok bagi Samurai yang membutuhkan ketenangan dalam pertempuran.
Zen juga menyentuh konsep kematian dan hidup yang dianggap sebagai dua sisi dari satu koin yang sama, menjadikan para Samurai tak gentar menghadapi kematian demi kehormatan.
Dari Konfusius, Bushido menyerap nilai-nilai kesetiaan dan harmoni antara individu dan masyarakat.
Selain itu, ajaran Shinto yang menghormati kaisar dan negara semakin memperkuat prinsip-prinsip Bushido.
Dalam praktiknya, Bushido merangkum nilai-nilai seperti "Gi" (integritas), "Yu" (keberanian), "Jin" (kasih sayang), "Rei" (hormat), "Makoto" (kejujuran), "Meiyo" (kehormatan), dan "Chugo" (kesetiaan).
Nilai-nilai ini bukan sekadar pedoman moral bagi Samurai dalam berperang, namun juga membentuk cara mereka bertindak sehari-hari.
Bagi seorang Samurai, misalnya, kehormatan dan harga diri sangatlah sakral. Mereka menganggap hidup tanpa kehormatan tak ada artinya.
Jika seorang Samurai merasa telah mengkhianati kehormatan, mereka melakukan "seppuku" atau bunuh diri sebagai bentuk penebusan dosa.
Perkembangan Bushido semakin kuat pada periode Edo (1603-1867) di bawah Keshogunan Tokugawa yang menerapkan politik isolasi.
Dengan isolasi ini, masyarakat Jepang tidak banyak berinteraksi dengan dunia luar, sehingga budaya dan nilai-nilai tradisional mereka, termasuk Bushido, terjaga dengan baik.
Samurai saat itu mendapat posisi yang terhormat dalam hierarki sosial, di atas petani, pengrajin, dan pedagang.
Dalam stabilitas yang tercipta, para Samurai memiliki waktu untuk mengembangkan seni dan budaya. Selain seni bela diri, mereka mempelajari seni lukis, puisi, kaligrafi, dan pengetahuan lainnya.
Era ini memperkuat Bushido sebagai etika yang tidak hanya diterapkan dalam perang, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Meski era Samurai berakhir pada masa Restorasi Meiji (1868), ketika Jepang membuka diri pada dunia luar dan menghapus kelas Samurai, nilai-nilai Bushido tetap melekat.
Restorasi Meiji memperkenalkan reformasi besar-besaran, termasuk pendidikan wajib, sistem wajib militer, dan perubahan sistem sosial.
Samurai dipaksa melebur dalam masyarakat umum, namun nilai-nilai Bushido seperti kedisiplinan, kerja keras, dan loyalitas terus dihidupi, berkontribusi pada transformasi Jepang menjadi negara modern yang maju.
Pasca Perang Dunia II, Bushido menemukan bentuk baru dalam kehidupan masyarakat Jepang yang hancur akibat kekalahan perang. Jepang berhasil bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan semangat Bushido.
Nilai-nilai seperti "kejujuran" dan "kesetiaan" mengakar dalam masyarakat, yang tercermin dalam dedikasi mereka untuk bekerja keras, menghormati pimpinan, dan setia pada bangsa.
Meski tanpa Samurai, masyarakat Jepang modern masih menjunjung tinggi prinsip-prinsip Bushido.
Baca Juga: Revolusi Meiji: Transformasi Jepang dari Feodal Menjadi Kekuatan Industri
Dalam dunia bisnis, nilai-nilai seperti integritas dan keberanian mengambil risiko dalam keputusan bisnis, menjadi dasar etika yang dihormati.
Para pemimpin perusahaan Jepang yang merupakan keturunan Samurai, bahkan mengadopsi prinsip-prinsip ini dalam manajemen perusahaan, memastikan bahwa usaha mereka berfokus pada kesejahteraan publik dan kepentingan nasional, bukan sekadar keuntungan pribadi.
Dalam masyarakat Jepang saat ini, Bushido juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Sikap hormat dan sopan menjadi norma, baik dalam lingkungan keluarga, tempat kerja, maupun ruang publik.
Nilai "rei" yang mengajarkan penghormatan dan kesantunan sudah ditanamkan sejak usia dini, menciptakan masyarakat yang tertib dan penuh hormat.
Di samping itu, nilai "chugo" atau kesetiaan pada atasan dan pemimpin terlihat dalam etos kerja yang luar biasa.
Orang Jepang rela bekerja keras demi kehormatan diri dan perusahaan, yang pada akhirnya membawa Jepang menjadi negara dengan ekonomi yang kuat di dunia.
Bushido di era modern menjadi nilai kolektif yang menciptakan solidaritas sosial yang kuat. Dalam menghadapi bencana alam, misalnya, masyarakat Jepang tetap tenang dan saling membantu tanpa menciptakan kerusuhan atau kekacauan.
Ini adalah manifestasi dari nilai "amae", yaitu saling ketergantungan yang positif dalam masyarakat.
Nilai-nilai Bushido memberikan dasar bagi bangsa Jepang untuk terus maju tanpa melupakan akarnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Izumi