Tradisi leher panjang oleh Suku Karen di Thailand. (The Travel Leaf)
Di Thailand, ada sebuah tradisi yang dilakukan oleh Suku Karen. Tradisi tersebut dilakukan dengan cara memanjangkan leher para wanita dengan menggunakan cincin yang terbuat dari kuningan.
Dikutip dari History of Yesterday, tradisi tersebut kerap dijalankan oleh kaum wanita Suku Karen yang ada di Thailand Utara. Cincin kuningan yang mereka gunakan dibuat oleh para pria Burma.
Mereka percaya jika semakin panjang leher seorang wanita, maka akan semakin cantik wanita tersebut. Maka dari itu, sejak usia lima tahun mereka sudah menggunakan cincin leher.
Seiring bertambahnya usia, maka leher kuningan juga akan semakin bertambah. Dikutip dari sumber terpercaya, mereka menambahkan gulungan tersebut setiap dua tahun sekali.
Baca Juga: Fakta Ritual Sumpah Pocong, Taruhannya Nyawa dan Kemiskinan Jika Ketahuan Berdusta
Tradisi leher panjang diikuti oleh Suku Karen yang berasal dari Myanmar. Jadi pada 1980-an, terjadi pertempuran antara tentara Myanmar dengan para pemberontak.
Mereka pun akhirnya melarikan diri menuju perbatasan Thailand. Masyarakat yang melarikan diri itu lalu dikurung di kamp-kamp pengungsi yang ada di sepanjang perbatasan Thailand dengan harapan untuk mencari keselamatan dan perlindungan.
Seketika itu pula mereka menemukan area 'leher panjang' yang dengan cepat langsung menjadi objek wisata.
Dalam waktu singkat, para kaum hawa di Karen menarik perhatian banyak turis. Bahkan, tak jarang mereka dimintai foto oleh beberapa pengunjung disana.
Sumber menyebutkan bahwa ada lebih dari 40 ribu pengunjung yang berhenti di perbatasan bukit setiap tahunnya hanya untuk melihat dan berfoto bersama wanita berleher panjang.
Tidak ada wanita dari Suku Karen yang dapat memberikan penjelasan yang jelas terkait tradisi leher panjang ini. Tidak ada yang tahu juga perihal alasan penggunaannya dan asal-usul keberadaannya.
Sementara itu, beberapa penduduk asli mengklaim jika gulungan cincin kuningan itu digunakan untuk melindungi wanita dari penculikan oleh suku tetangga. Tak hanya itu, beberapa di antaranya percaya jika cincin leher dapat melindungi mereka dari serangan harimau di leher.
Sedangkan untuk saat ini, alasan yang paling logis dari gulungan leher tersebut adalah sebagai pewaris budaya. Oleh sebab itu, masyarakat setempat khususnya wanita Suku Karen tetap memakan cincin leher untuk melestarikan budaya.
Baca Juga: Tradisi Mak Nene, Ritual Mengganti Pakaian Jenazah Suku Toraja yang Dikubur Bertahun-tahun
Karena gulungan dari cincin leher semakin bertambah setiap dua tahun, maka lama-lama leher tersebut akan penuh dengan gulungan kuningan. Hal itu membuat leher akan mengalami bahaya kesehatan yang cukup berbahaya.
Terutama di bagian tulang belakang leher. Bagian tubuh tersebut cukup sensitif dan dikhawatirkan akan mengakibatkan patah tulang.
Bahkan, gulungan leher itu ada yang mencapai 20 kilogram. Akibatnya, banyak wanita yang merasa tidak nyaman saat memakainya.
Wanita Suku Karen pun dipaksa tidur dengan mengenakan gulungan kuningan di leher mereka. Untuk menghindari lecet, mereka bahkan menggunakan daun untuk melindungi leher mereka saat tidur agar tidak lecet.
Selain itu, para wanita Suku Karen juga dilarang untuk membicarakan perihal kesulitan mereka akibat gulungan leher itu kepada orang asing. Mereka bahkan dihukum jika ketahuan memakai komputer atau ponsel.
Zaman sekarang, tradisi leher panjang masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Suku Karen. Hal itu dilakukan sebagai simbol kepercayaan budaya mereka.
Kendati begitu, beberapa di antaranya ada yang memutuskan untuk tidak mengikuti tradisi tersebut karena menganggap jika ritual itu menjengkelkan. Mereka bahkan berpikir jika itu adalah tradisi kuno yang tak boleh dilakukan di zaman modern.
Penulis: Antika Fahira
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: