Kategori Berita
Media Network
Senin, 09 DESEMBER 2024 • 12:24 WIB

Mengenal Dugderan, Tradisi Menyambut Bulan Ramadan di Semarang yang Memadukan Budaya dan Religi

Dugderan, Tradisi Menyambut Bulan Ramadan di Semarang.

INDOZONE.ID - Pada tahun 1881 Masehi, di masa kepemimpinan Bupati Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Aryo Purbaningrat, Semarang memperkenalkan tradisi arak-arakan untuk menyambut bulan Ramadan yang dikenal dengan nama Dugderan.

Nama ini diambil dari bunyi “dug” yang berasal dari suara bedug yang dipukul sebagai tanda waktu salat magrib, serta “der” yang merujuk pada suara meriam bambu yang diledakkan guna memeriahkan acara tersebut. Tradisi ini menjadi ciri khas masyarakat Semarang dalam menyambut bulan puasa.

Dilansir dari jurnal karya R Njatrijani dengan judul "Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Kota Semarang", pada masa itu, pengelompokan masyarakat berdasarkan etnis oleh Kolonial Belanda memicu perpecahan, termasuk di kalangan umat Islam, terutama dalam menentukan hari-hari besar agama.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Tradisi Takjil: Sebuah Warisan Budaya Ramadan di Indonesia

Untuk mengatasi perbedaan ini, Bupati KRMT Aryo Purbaningrat memutuskan untuk menetapkan awal Ramadan secara resmi dengan membunyikan bedug di Masjid Agung dan menyalakan meriam sebanyak tiga kali di halaman kabupaten. Langkah ini bertujuan menciptakan kesepakatan bersama yang dapat menyatukan masyarakat.

Tujuan Tradisi Dugderan

Tradisi Dugderan bertujuan sebagai penanda resmi awal Ramadan yang didasarkan pada kesepakatan antara bupati dan imam masjid. Lebih dari itu, tradisi ini juga menjadi ajang berkumpulnya masyarakat untuk saling berinteraksi dalam suasana penuh toleransi, tanpa diskriminasi antar kelompok. Dengan semangat kebersamaan, Dugderan berhasil menghapus sekat-sekat sosial yang selama itu membatasi warga.

Pelaksanaan tradisi Dugderan biasanya berlangsung dari pagi hingga menjelang magrib. Acara ini mencakup pasar malam, pengumuman awal puasa, dan karnaval budaya yang dikenal sebagai Warak Ngendog.

Baca Juga: Sejarah Dugderan: Upacara Multikultural Sambut Awal Ramadan di Semarang

Pasar malam atau Pasar Dugderan biasanya diadakan di sekitar Pasar Johar atau kompleks Masjid Besar Kauman dan berlangsung selama satu minggu. Meski persiapan dan pelaksanaannya dimulai satu hingga dua minggu sebelum Ramadan, puncak acara berlangsung sehari sebelum bulan puasa dimulai.

Puncak Perayaan Dugderan

Pada puncak Dugderan, setelah salat asar, diadakan musyawarah antara para ulama untuk menentukan awal Ramadan. Hasil musyawarah kemudian diumumkan kepada gubernur Jawa Tengah dan wali kota Semarang.

Sebagai simbol resmi dimulainya bulan puasa, gubernur akan memukul bedug diikuti dengan pembacaan doa. Tradisi ini menjadi simbol kebersamaan dan kesatuan masyarakat.

Dalam pelaksanaan Dugderan, terdapat tiga elemen penting yang berperan dalam keberlangsungannya. Pemerintah, yang diwakili oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, bertanggung jawab mengatur jalannya acara.

Peran dari Ulama

Ulama berperan memastikan awal Ramadan berdasarkan penghitungan yang akurat, sementara komunitas etnis Jawa, Tionghoa, dan Arab turut menjadi pelaku, penikmat, dan pendukung tradisi ini.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jurnal Nasional

BERITA TERKAIT
BERITA TERBARU

Mengenal Dugderan, Tradisi Menyambut Bulan Ramadan di Semarang yang Memadukan Budaya dan Religi

Link berhasil disalin!