Pada hari keempat, dilaksanakan upacara Meruwat agat’n Kasa’i Minyak, yaitu perawatan dan pembersihan tulang-tulang.
Pada tahap ini, mayat yang telah dikubur digali kembali untuk diambil tulangnya.
Tulang-tulang tersebut dicuci bersih menggunakan air sabun, lalu diolesi minyak kelapa yang dicampur kunyit sebagai simbol penyucian.
Pada hari kelima, dilaksanakan upacara Melomang, yaitu memasak beras ketan yang telah direndam, lalu dibungkus daun pisang.
Bungkusan ini dimasukkan ke dalam ruas bambu dan dimasak. Selain itu, dilakukan juga upacara Menyawat Reranca’an, yaitu menempatkan sesaji yang terdiri dari ketan hitam, ketan putih, ayam panggang, dan beberapa jenis makanan lainnya.
Hewan kurban yang disiapkan untuk hari ini meliputi tiga ekor ayam dan tiga ekor babi.
Puncak upacara terjadi pada hari keenam dengan upacara inti, Labuh Bosar. Pada hari ini, didirikan jarau pemali, yaitu tempat penampungan sumbangan, dan dilakukan melepas unuk, yaitu melepas ikat kepala yang dipakai selama prosesi berlangsung.
Keluarga penyelenggara upacara kemudian melaksanakan makan brata, yaitu makan bersama dengan makanan khusus, seperti ketan hitam, ketan merah, ayam panggang, dan tuak.
Setelah itu, dilakukan tarian khas Tiwah yang disebut Nganjan, di mana para penari mengenakan pakaian khusus Tiwah.
Upacara ini diakhiri dengan tarian Beigal, yang melambangkan kegembiraan dan sukacita setelah upacara Tiwah selesai.
Upacara Tiwah tidak hanya merupakan bentuk penghormatan terakhir kepada leluhur, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan kesejahteraan bagi masyarakat Dayak Ngaju, yang menjunjung tinggi tradisi nenek moyang mereka.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia