Misteri Kematian Lambang Babar Purnomo: Arkeolog Pemberani yang Menguak Mafia Koleksi Museum
INDOZONE.ID - Dunia arkeologi Indonesia dikejutkan oleh kematian tragis seorang pejuang pelestarian sejarah, Lambang Babar Purnomo. Arkeolog yang dikenal gigih dalam mengungkap kasus pencurian dan pemalsuan koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta ini ditemukan tewas dalam kondisi mencurigakan.
Baca Juga: Deretan Lagu yang Dianggap Punya Lirik Pemujaan Setan, Beneran Serem atau Cuma Mitos?
Kematian Lambang bukan sekadar kehilangan seorang pakar, tetapi juga menjadi simbol betapa berbahayanya perjuangan melawan mafia benda bersejarah.
Apakah benar ia meninggal akibat kecelakaan, atau ada tangan-tangan tersembunyi yang ingin membungkamnya?
Kali ini, INDOZONE akan mengajak kalian untuk menelusuri perjalanan Lambang dalam membongkar skandal besar yang mengguncang dunia arkeologi Indonesia.
Pada tahun 2007, staf Museum Radya Pustaka Solo mendapati fakta mengejutkan bahwa koleksi arca batu era Buddha di sana ternyata palsu. Arca asli rupanya dijual oleh kerabat Keraton bernama Heru Suryanto kepada seorang art dealer bernama Hugo Kreijger.
Kemudian, Kreijger menjual arca tersebut kepada Hashim Djojohadikusumo, kolektor benda purbakala sekaligus adik dari Presiden RI saat ini, Prabowo Subianto.
Hashim sendiri mengaku tidak mengetahui bahwa arca yang ia beli merupakan hasil curian dan ilegal. Hugo Kreijger memang dikenal sebagai pengepul benda seni dan bersejarah.
Setelah terungkap bahwa salah satu koleksi yang ia pajang di rumahnya adalah hasil curian, ia diminta mengembalikan arca tersebut ke Museum Radya Pustaka.
Proses penjemputan arca dilakukan oleh Ketua Pokja Perlindungan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, Lambang Babar Purnomo.
Ia menjemput arca tersebut langsung dari kediaman Hashim di Jakarta. Namun, kepulangannya membawa lebih dari sekadar arca. Lambang menemukan fosil gading berusia jutaan tahun serta enam arca lain yang tidak memiliki dokumen resmi.
Dugaan bahwa benda-benda tersebut juga merupakan hasil pencurian semakin menguat. Penyelidikan dilakukan dengan Lambang sebagai saksi ahli dan penguji keaslian benda-benda tersebut. Ia rela bolak-balik Solo–Yogyakarta demi memberikan keterangan yang diperlukan.
Berkat kerja kerasnya, dua orang dinyatakan sebagai tersangka: Heru Suryanto dan Kepala Museum Radya Pustaka, KRH Darmodipuro (Mbah Hadi). Keduanya divonis 18 bulan penjara karena terbukti melakukan pemalsuan dan menjual arca museum kepada Kreijger.
Namun, kasus ini belum selesai. Salah satu arca yang hilang adalah Arca Dewi Cunda yang sangat langka. Di dunia, hanya ada dua arca perunggu Dewi Cunda: satu di Indonesia dan satu di India.
Heru mengaku bahwa sebelum ia mencuri beberapa koleksi, sudah ada pihak lain yang terlebih dahulu mengganti dan memalsukan arca di museum tersebut. Hal ini memperjelas adanya mafia besar dalam perdagangan ilegal benda purbakala.
Seiring berjalannya waktu, fakta-fakta baru mulai terungkap. Lambang berhasil menemukan kasus yang lebih besar, yaitu hilangnya 52 arca perunggu dari museum dengan total kerugian mencapai Rp1 triliun.
Jika kasus ini berhasil dibongkar, maka mafia perdagangan benda prasejarah berskala internasional bisa diberangus. Namun, perjuangan Lambang harus terhenti secara tragis.
Tepat beberapa hari sebelum ia memberikan kesaksian dalam persidangan, pada Sabtu, 9 Februari 2008, Lambang Babar Purnomo yang saat itu berusia 57 tahun, ditemukan tewas di sebuah selokan Jalan Lingkar Utara, Pandega Padma, Sleman, DIY.
Seorang saksi mata yang merupakan warga setempat, mengaku mendengar suara teriakan minta tolong sekitar pukul 04.00 pagi.
Baca Juga: Key Ewer, Guru di Colorado yang Lakukan Kejahatan Seksual ke Murid Berkebutuhan Khusus
"Tolong... tolong... ya Tuhan... tolong..." teriak suara itu.
Namun, saksi tersebut tidak berani keluar rumah karena khawatir itu adalah trik maling.
Sekitar pukul 06.00 pagi, warga menemukan sebuah motor Astrea 800 dan jasad seorang pria di dalam selokan. Saat diangkat, jasad itu ternyata adalah Lambang Babar Purnomo.
Lambang meninggal dengan luka di kepala, leher patah, serta darah keluar dari hidung dan telinganya. Keluarga dan rekan-rekannya meminta otopsi, yang hasilnya menunjukkan bahwa Lambang meninggal akibat kekerasan benda tumpul.
Kesaksian warga yang mendengar teriakan serta melihat seseorang lari dari lokasi kejadian, semakin memperkuat dugaan bahwa Lambang dibunuh.
Kematian Lambang menjadi pukulan telak bagi para arkeolog dan pemerhati sejarah. Setelah kepergiannya, kasus ini perlahan-lahan menghilang. Tidak ada tersangka baru yang ditetapkan.
Kepolisian pun menganggap kematian Lambang sebagai kecelakaan lalu lintas, meskipun banyak pihak meyakini ia dibunuh karena aktivitasnya membongkar mafia benda purbakala.
Kini, jika pembaca mengunjungi Museum Radya Pustaka di Surakarta, kemungkinan sekitar 50% koleksi di sana adalah tiruan dari benda aslinya.
Ke mana perginya kekayaan sejarah negeri ini? Apakah akan ada sosok Lambang Babar lainnya yang berani mengungkap kebenaran?
Terlepas dari semua itu, Lambang Babar Purnomo telah menunjukkan jiwa kesatrianya. Ia mengorbankan nyawanya demi menjaga warisan sejarah Indonesia.
Penulis: Eliani Kusnedi
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: X @miguelfelixz