Selasa, 30 JANUARI 2024 • 11:17 WIB

Prediksi Kemarau Global dari PBB: 2,3 Miliar Orang di Dunia Alami Krisis Air di 2050

Author

Ilustrasi kekeringan karena kemarau global. (Freepik/jcomp)

INDOZONE.ID - Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan UN-Water dalam laporan Pembangunan Air Dunia PBB, memperkirakan 2,3 miliar orang di dunia akan mengalami krisis air pada 2050.

Krisis air akan semakin parah dalam beberapa dekade setelahnya, terutama di daerah perkotaan, jika kerja sama internasional di bidang pengelolaan air tidak ditingkatkan.

Selain itu, laporan yang dirilis tahun lalu itu juga mengungkapkan, secara global, 2 miliar orang atau sekitar 26% dari populasi dunia tidak memiliki air minum yang aman dan 3,6 miliar orang (46%) tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang baik.

“Antara dua hingga tiga miliar orang mengalami kekurangan air, setidaknya selama satu bulan per tahun,” tulis laporan itu, dikutip dari keterangan resmi UNESCO, Selasa (30/1).

Baca Juga: PBB Ungkapkan Kemungkinan Suhu Naik Hingga 1,5 Derajat Celcius untuk 5 Tahun Kedepan!

Ilustrasi kekeringan di masa depan karena kemarau global. (Freepik)

Populasi perkotaan global yang menghadapi kelangkaan air diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dari 930 juta pada tahun 2016 menjadi 1,7 - 2,4 miliar orang pada tahun 2050. Meningkatnya kejadian kekeringan ekstrem dan berkepanjangan juga memberikan tekanan pada ekosistem, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi spesies tanaman dan hewan.

Selain itu, kondisi ini juga menimbulkan risiko besar terhadap mata pencaharian manusia, terutama terhadap ketahanan pangan dan akses terhadap listrik.

Oleh karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk membangun mekanisme internasional yang kuat untuk mencegah krisis air global. Apalagi, air adalah masa depan bagi seluruh makhluk hidup di dunia, sehingga penting bagi masyarakat dunia untuk bertindak bersama dan bergotong-royong dalam mengelola air secara berkelanjutan.

Baca Juga: Krisis Populasi akan Buat Seoul Jadi Kota Mati? Simak Faktanya!

“Melindungi dan melestarikan sumber daya berharga ini untuk generasi mendatang bergantung pada kemitraan. Pengelolaan cerdas dan konservasi sumber daya air dunia berarti menyatukan pemerintah, dunia usaha, ilmuwan, masyarakat sipil dan komunitas – termasuk masyarakat adat – untuk merancang dan memberikan solusi nyata,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay.

Ilustrasi kekeringan karena kemarau global. (Freepik/jcomp)

Sementara itu, menurut Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, ada banyak hal yang harus dilakukan dalam waku yang terbatas untuk mencegah krisis air terjadi.

“Laporan ini menunjukkan ambisi kita dan kita sekarang harus bersatu dan mempercepat tindakan. Inilah saatnya kita membuat perbedaan,” imbuhnya.

Hampir setiap intervensi terkait air melibatkan kerja sama dari banyak pihak. Menanam tanaman misalnya, yang membutuhkan sistem irigasi bersama di antara para petani, atau menyediakan air yang aman dan terjangkau bagi kota-kota dan daerah pedesaan hanya mungkin dilakukan melalui pengelolaan sistem pasokan air dan sanitasi secara komunal.

Tidak lupa, kerja sama antara komunitas perkotaan dan pedesaan juga sangat penting untuk menjaga ketahanan pangan dan pendapatan petani.

Namun, mengelola sungai dan akuifer yang melintasi perbatasan internasional menjadikan permasalahan ini semakin rumit. Meskipun kerja sama mengenai cekungan dan akuifer lintas batas telah terbukti memberikan banyak manfaat di luar keamanan air, termasuk membuka saluran diplomatik tambahan, hanya 6 dari 468 akuifer yang dimiliki bersama secara internasional di dunia yang tunduk pada perjanjian kerja sama formal.

“Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan peningkatan kerja sama internasional mengenai bagaimana air digunakan dan dikelola. Ini adalah satu-satunya cara untuk mencegah krisis air global dalam beberapa dekade mendatang,” ujar Guterres.

Baca Juga: Peristiwa 11 Mei: Lahirnya Ismail Marzuki hingga Israel Gabung PBB

Di sisi lain, jasa lingkungan, seperti pengendalian polusi dan keanekaragaman hayati, merupakan salah satu manfaat bersama yang paling sering disorot dalam laporan ini, bersama dengan peluang berbagi data/informasi dan pendanaan bersama.

Misalnya, 'dana air' adalah skema pembiayaan yang menyatukan pengguna hilir, seperti kota, dunia usaha, dan utilitas, untuk secara kolektif berinvestasi dalam perlindungan habitat di hulu dan pengelolaan lahan pertanian guna meningkatkan kualitas dan/atau kuantitas air secara keseluruhan.

Ilustrasi kekeringan karena kemarau global. (Freepik)

Monterrey Water Fund di Meksiko, adalah salah satu lembaga keuangan khusus yang mampu menjaga kualitas air, mengurangi banjir, meningkatkan infiltrasi dan merehabilitasi habitat alami melalui pembiayaan bersama. Keberhasilan dengan pendekatan serupa juga terjadi di Afrika Sub-Sahara, termasuk daerah aliran sungai Tana-Nairobi, yang memasok 95% air tawar di Nairobi dan 50% listrik di Kenya.

Pada saat yang sama, partisipasi pemangku kepentingan yang inklusif juga mendorong dukungan dan kepemilikan. Selain itu, melibatkan pengguna akhir, yakni masyarakat dalam perencanaan dan penerapan sistem air akan menciptakan layanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya masyarakat miskin, serta meningkatkan penerimaan dan kepemilikan masyarakat. Hal ini juga mendorong akuntabilitas dan transparansi.

Di kamp-kamp pengungsian di wilayah Gedo, Somalia misalnya, warga memilih komite air yang mengoperasikan dan memelihara titik-titik air yang memasok kebutuhan air bagi puluhan ribu orang. Anggota komite bermitra dengan otoritas air setempat di komunitas tuan rumah untuk berbagi dan mengelola sumber daya air.


Z Creators

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: UNESCO.org