Kisah Nyata Tentara Jepang 30 Tahun Sembunyi di Hutan, Tak Tahu Perang Dunia Kedua Telah Berakhir
INDOZONE.ID - Tersembunyi jauh di dalam hutan lebat Pulau Lubang, seorang prajurit Jepang tetap setia pada perintah yang diterimanya, tanpa mengetahui bahwa perang dunia kedua telah berakhir hampir tiga dekade sebelumnya.
Hiroo Onoda terus berjuang dengan gigih dalam perang yang telah lama usai di seluruh dunia. Kisahnya menggambarkan kesetiaan yang luar biasa, perjuangan bertahan hidup melawan segala rintangan, dan keterputusan mengejutkan dari dunia yang berubah dengan cepat.
Bagaimana Onoda bisa bertahan selama 30 tahun dalam isolasi total dari peradaban modern? Dan apa yang akhirnya membuatnya yakin untuk menyerah dan meletakkan senjatanya?
Siapakah Hiroo Onoda
Hiroo Onoda lahir 19 Maret 1922 di desa Kamekawa Jepang. Kehidupan masa kecilnya mencerminkan nilai-nilai tradisional Jepang awal abad ke-20, yang sangat menekankan kesetiaan dan kewajiban.
Pada usia 18 tahun, pada tahun 1940, Onoda membuat keputusan penting yang akan membentuk sebagian besar hidupnya dengan bergabung ke Tentara Kekaisaran Jepang.
Selama masa dinasnya, Onoda menjalani pelatihan intensif yang tidak hanya mempersiapkannya untuk perang, tetapi juga menanamkan disiplin yang kuat dan komitmen yang tak tergoyahkan kepada bangsa dan Kaisar.
Pada tahun 1944, saat perang dunia kedua memuncak, Onoda mengalami perubahan besar dalam karier militernya. Dia dipilih untuk mengikuti pelatihan khusus di Sekolah Nakano, sebuah pusat pelatihan intelijen elite di Tokyo.
Di sana, Onoda dan rekan-rekannya dilatih dalam perang gerilya dan keterampilan bertahan hidup, yang sesuai dengan perubahan strategi Jepang dalam menghadapi gelombang perang yang berubah.
Pelatihan ini berguna untuk pengumpulan informasi intelijen, kemampuan sabotase, dan kemampuan bertahan hidup di lingkungan yang keras dan terisolasi.
Keterampilan dan pola pikir yang dikembangkan Onoda selama masa pelatihan di Sekolah Nakano menjadi kunci kelangsungan hidupnya di hutan Filipina.
Kenapa Hiroo Onoda Berada di Pulau Lubang
Pada akhir Desember 1944, saat perang dunia kedua mencapai puncaknya, Hiroo Onoda ditugaskan ke Pulau Lubang di Filipina, dengan misi penting untuk mengganggu dan mengumpulkan informasi intelijen tentang operasi Sekutu.
Saat itu, Onoda yang masih seorang letnan muda, tiba di pulau tersebut pada 26 Desember 1944, siap menjalankan perintahnya dengan disiplin dan dedikasi yang kuat.
Sesampainya di Pulau Lubang, Onoda segera menilai situasi. Meskipun pulau ini relatif kecil, medannya yang penuh hutan lebat dan perbukitan terjal sangat cocok untuk taktik perang gerilya yang telah dipelajarinya.
Baca Juga: Sejarah Tiongkok Kuno: Dinasti Xia, Shang, dan Zhou dalam Catatan Sejarawan
Onoda diberi perintah yang jelas: menjalankan operasi gerilya dan tidak menyerah dalam kondisi apapun.
Pulau Lubang Filipina yang hutannya sangat lebat memberikan perlindungan sekaligus tantangan.
Onoda dan timnya harus beradaptasi dengan lingkungan yang keras, mencari makanan dan air dari alam sekitar, dan terus bergerak untuk menghindari pasukan musuh.
Mereka bertahan hidup dengan memakan kelapa, pisang, dan buah-buahan lainnya, serta kadang-kadang mencuri ternak dari peternakan lokal.
Kehidupan di hutan yang menuntut fisik prima, ditambah dengan tekanan psikologis karena selalu waspada, sangatlah berat. Namun, kepemimpinan dan keterampilan bertahan hidup Onoda memastikan kelompoknya tetap hidup dan terus beroperasi.
Ketidaktahuan Hiroo Onoda atas Kekalahan Jepang pada Perang Dunia Kedua
Pada awal 1945, arus perang dunia kedua mulai berbalik melawan Jepang. Pasukan Amerika kembali merebut Filipina, dengan mendarat di Pulau Lubang pada Februari 1945. Komunikasi dengan komando Jepang menjadi terbatas dan akhirnya terputus sepenuhnya.
Mereka diberi perintah tegas untuk tidak menyerah, dan tanpa perintah langsung yang menyatakan sebaliknya, Onoda menafsirkan ini sebagai instruksi untuk terus berperang.
Selebaran dan berita tentang penyerahan Jepang pada Agustus 1945 sampai ke mereka, tetapi Onoda dan anak buahnya menganggapnya sebagai propaganda musuh yang bertujuan memancing mereka keluar dari persembunyian.
Onoda tetap skeptis. Terlatih dalam perang propaganda, dia menduga pesan-pesan ini adalah trik Sekutu untuk mengelabui mereka agar menyerah.
Pelatihannya di Sekolah Nakano telah mempersiapkannya untuk mewaspadai taktik semacam itu, memperkuat tekadnya untuk melanjutkan perjuangan sampai dia menerima perintah resmi dari atasannya.
Bagaimana Hiroo Onoda Bertahan Selama 30 Tahun di Hutan
Di tengah hutan lebat, Hiroo Onoda dan beberapa rekannya mengandalkan pelatihan dan kecerdikan mereka untuk bertahan hidup. Kegiatan sehari-hari mereka mencakup misi pengintaian, pengumpulan intelijen, dan aksi gerilya melawan pasukan Sekutu.
Mereka hidup tersembunyi, menghindari penangkapan dan berusaha tidak menarik perhatian. Onoda berburu binatang liar, mencari buah-buahan, dan memancing di sungai.
Sumber makanan mereka ditambah dengan beras dan bahan lain yang dicuri dari pertanian lokal. Onoda juga memastikan ketersediaan air bersih dengan mencari dan memanfaatkan sumber air alami di hutan.
Baca Juga: Candi Gedong Songo, Keindahan Sejarah dan Mitos Cinta yang Menguji Kesetiaan
Selama bertahun-tahun, Onoda memimpin operasinya, meyakini bahwa tindakan mereka berkontribusi pada usaha perang.
Mereka memperbaiki alat senjatanya menggunakan sumber daya terbatas serta membuat pakaian yang terbuat dari kulit pohon untuk menggantikan seragam mereka.
Meskipun banyak upaya penduduk lokal dan Angkatan Darat Filipina untuk meyakinkan mereka bahwa perang telah berakhir, Onoda tetap berpegang teguh pada perintahnya dan terus berperang.
Perlindungan adalah elemen penting dalam kelangsungan hidup Onoda. Dia membangun tempat perlindungan tersembunyi dari bahan-bahan alami di hutan, yang berfungsi sebagai tempat istirahat dan perlindungan dari cuaca buruk serta upaya menghindari deteksi.
Onoda mahir menyamarkan tempat persembunyiannya dan sering berpindah-pindah untuk menghindari jejak. Pada tahun 1972, setelah ketiga rekannya menyerah atau tewas, Onoda bertahan sendirian.
Dia merawat senjata dan amunisinya dengan hati-hati, membersihkan secara rutin dan melakukan perbaikan improvisasi ketika diperlukan.
Onoda menghadapi tantangan kesehatan seperti penyakit tropis, cedera, dan kemunduran fisik akibat kondisi hidup yang keras. Dia mengatasinya dengan pengetahuan dasar tentang pertolongan pertama, menjaga kebersihan pribadi, dan disiplin mental serta fisik yang tinggi.
Aspek psikologis adalah ujian terbesar. Onoda harus melawan kesepian, ketidakpastian, dan tekanan hidup sebagai buronan.
Dia mengatasi ini dengan menjaga rutinitas ketat, mengikuti pelatihan militer, dan tetap fokus pada misinya. Ketabahan mental ini sama pentingnya dengan keterampilan fisiknya, memungkinkan Onoda bertahan dalam isolasi selama puluhan tahun.
Mengapa Hiroo Onoda Akhirnya Menyerah
Penolakan Hiroo Onoda untuk menyerah dan kelanjutan operasi militernya menjadi masalah serius dan berbahaya bagi penduduk setempat.
Beberapa insiden melibatkan bentrokan antara Onoda dan rekan-rekannya dengan petani lokal dan polisi Filipina, yang sering berakhir dengan cedera atau kematian.
Onoda, yang mengira dirinya masih dalam peperangan, melihat warga sipil dan otoritas lokal sebagai ancaman, menyebabkan konflik yang tak terhindarkan.
Penduduk Pulau Lubang hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan akibat pertemuan sporadis namun berbahaya ini. Kekhawatiran akan kemungkinan bertemu Onoda atau kelompoknya mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Pertanian dan perikanan, yang sangat penting bagi ekonomi lokal, sering terganggu. Beberapa daerah di pulau Lubang jadi zona terlarang, disebabkan penduduk yang berusaha menghindari potensi konfrontasi.
Titik balik ini terjadi pada tahun 1974, 30 tahun usai perang berakhir. Norio Suzuki, seorang petualang muda Jepang yang tertarik dengan kisah Onoda, pergi ke Pulau Lubang untuk mencarinya.
Baca Juga: Menakjubkan! Wanita Ini Rekam Pecahan Komet yang Tiba-tiba Melaju Kencang di Langit Portugal
Suzuki berhasil menemukan Onoda dan berusaha meyakinkannya untuk menyerah. Namun, Onoda yang masih teguh dengan disiplin militernya menyatakan bahwa ia hanya akan menyerah jika komandannya memerintahkannya.
Pemerintah Filipina menghadapi situasi yang sulit. Upaya untuk menyingkirkan Onoda secara damai terhambat oleh penolakannya yang keras kepala untuk percaya bahwa perang telah usai.
Ini menjadi tantangan bagi otoritas setempat yang harus menyeimbangkan keselamatan warganya dengan penyelesaian situasi tanpa kekerasan lebih lanjut.
Menanggapi situasi mendesak ini, pemerintah Jepang melacak mantan komandan Onoda, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang saat itu bekerja sebagai penjual buku.
Dalam peristiwa dramatis, Taniguchi diterbangkan ke Pulau Lubang untuk memberikan perintah terakhir masa perang kepada Onoda. Pada tanggal 9 Maret 1974, dalam momen emosional yang bersejarah, Taniguchi secara resmi membebastugaskan Onoda.
Langkah ini sangat penting bagi Onoda, yang sangat menghormati rantai komando dan memerlukan perintah resmi untuk mengakhiri misinya.
Setelah menerima perintah tersebut, Onoda menyerah dan menyerahkan pedangnya, senapan Arisaka yang masih berfungsi, amunisi, beberapa granat tangan, dan belati keluarganya.
Bagaimana Hiroo Onoda Menyesuaikan Diri dengan Kehidupan di Dunia Modern
Setelah menyerah pada tahun 1974, Hiroo Onoda kembali ke Jepang dan menarik perhatian bangsa serta dunia. Pria yang telah lama hidup di masa lalu, kini harus menyesuaikan diri dengan Jepang modern yang berbeda jauh dari era 1940-an yang ia tinggalkan.
Adaptasi ini menantang bagi Onoda, karena ia harus berhadapan dengan perubahan besar dalam teknologi, budaya, dan nilai-nilai masyarakat.
Pada awalnya, Onoda kesulitan dengan popularitas barunya dan kecepatan kehidupan modern. Media memberinya perhatian luas, dan kisahnya diabadikan dalam buku dan film dokumenter.
Dalam wawancara dan penampilan publik, ia sering berbagi tentang pengalamannya serta kesulitan menyesuaikan diri dengan dunia yang hampir tidak dikenalnya.
Meskipun mengalami kejutan budaya, ketahanan dan kemampuan beradaptasi Onoda, yang pernah membantunya bertahan di hutan, juga mendukungnya dalam menavigasi fase baru kehidupannya.
Dalam tahun-tahun setelah kepulangannya, pandangan Onoda tentang pertempurannya yang lama mulai berubah. Ia menyatakan penyesalan atas nyawa yang hilang selama masa tinggalnya di Pulau Lubang, baik dari rekan-rekannya maupun masyarakat setempat.
Refleksi ini membawanya pada pemikiran yang lebih dalam tentang perang dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat.
Pengalaman unik Onoda menjadikannya pembicara yang dicari, sering kali berbicara tentang perang, perdamaian, dan semangat manusia. Mencari kehidupan yang lebih tenang, Onoda pindah ke Brasil pada tahun 1975 dan menjadi peternak sapi.
Pindah ke lingkungan pedesaan yang mengingatkannya pada kehidupannya di hutan, memungkinkan Onoda menemukan kedamaian dan tujuan.
Ia menikah pada tahun 1976 dan membangun kehidupan baru yang jauh dari sorotan publik. Di Brasil, ia juga mendirikan kamp pelatihan bertahan hidup, memanfaatkan pengalamannya untuk mengajarkan orang lain cara bertahan dalam kondisi keras.
Pada tahun 1984, Onoda kembali ke Jepang dan mendirikan sebuah kamp pendidikan bagi para pemuda di prefektur asalnya, Wakayama.
Melalui program ini, ia berusaha mengajarkan nilai-nilai disiplin, keterampilan bertahan hidup, dan penghargaan terhadap alam kepada generasi muda.
Kehidupan pasca penyerahan Onoda menjadi perjalanan rekonsiliasi dengan masa lalunya dan usaha untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Hiroo Onoda telah meninggal pada 16 Januari 2014 di usianya yang ke 91 tahun.
Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk bikin cerita dan konten serumu serta dapatkan berbagai reward menarik! Let's join Z Creators dengan klik di sini.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: HistorySkills