Kamis, 20 JANUARI 2022 • 14:39 WIB

Benarkah Sentimen Sunda dan Jawa karena Ulah Gajah Mada yang Sebabkan Perang Bubat?

Author

Ilustrasi perang buba. (Istimewa)

Konon, dalam sejarah sempat ada cerita bila sentimen antara suku Sunda dan Jawa bermula dari kisah Perang Bubat yang disebabkan oleh Gajah Mada Meski berupa mitos, namun banyak literasi yang telah menceritakan perang ini bahkan secara turun temurun.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang mau memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. 

Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, peristiwa Perang Bubat semua bermula dengan ulah Gajahmada yang menghancurkan rombongan pengantin Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda yang harusnya menikah dengan Prabu Hayam Wuruk.

Niat pernikahan itu yaitu untuk memperketat tali persaudaraan yang telah lama putus selang Majapahit dan Sunda.  

Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. 

Gajahmada memerintahkan menyerang rombongan.

Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diikuti sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. 

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat pendapat oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat yaitu bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda untuk Majapahit. 

Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. 

Patung Gajah Mada (Instagram/ baka.neko.baka)

Kemudian terjadi insiden perselisihan selang utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang selang Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah akbar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam lawatan itu. 

Peristiwa itu kesudahannya dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda bisa didatangkan di Majapahit dan binasa di lapangan Bubat.

Gajahmada dianggap ceroboh.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melaksanakan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Perbuatan itu diharapkan bisa membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi probabilitas dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. 
Dampak peristiwa Bubat ini, dituturkan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada dijadikan renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya diasumsikan ceroboh dan gegabah. 

Dia diasumsikan terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan hasrat dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). 

Dampak Perang Bubat.

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlaku hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

 Pangeran Niskalawastu Kancana — saudara kandung yang lebih muda Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena waktu itu masih terlalu kecil — dijadikan satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta dijadikan Prabu Niskalawastu Kancana. 

Kebijakannya ditengahnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan melaksanakan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Dampak peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang intinya ditengahnya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau beberapa lagi menyebut tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan semakin lapang sebagai larangan untuk orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Mitos yang dikipasi Belanda.

Dalam konteks kolonial Belanda, permusuhan kedua etnis ini tampaknya sengaja dipelihara sebagai bagian dari politik pecah belah (devide et impera). Kidung Sundayana yang memuat kisah Pasunda Bubat masuk dalam pelajaran di sekolah-sekolah Belanda di Jabar.

Konflik ini sengaja terus dikipas-kipas oleh Belanda. Padahal sebagai sebuah sejarah, akurasinya perlu dipertanyakan, penuh bias, karena bercampur mitos. Jarak antara serat Pararaton (1474 M) yang menjadi rujukan kidung Sundayana, sangat jauh dengan peristiwa Perang Bubat, sekitar 117 tahun. Tidak ada prasasti sebagai sumber otentik yang bisa menjadi rujukan.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: