Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) adalah peristiwa nasional yang paling kontroversial dan menakutkan bagi warga negara Indonesia.
Dalam peristiwa itu, enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD menjadi korban. Bahkan putri Jenderal TNI AH Nasution, Ade Irma Suryani, juga ikut menjadi salah satu korban selain para jenderal TNI.
Selama berada di bangku sekolahan, kita mengetahui jika peristiwa itu adalah kudeta atau pemberontakan dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI dianggap sebagai dalang dari penculikan dan pembunuhan para jenderal lantaran menjadi dirasa menjadi penghalang mereka untuk mengubah ideologi negara menjadi ideologi komunis.
Namun, usai peristiwa G30S, ribuan orang ditangkap bahkan dibunuh tanpa diadili karena dituduh sebagai PKI. Mereka yang pernah diadili, mengungkapkan peristiwa G30S tidak bisa dilihat sebagai dosa tunggal PKI.
Kolonel Abdul Latief yang kala itu menjabat Komandan Garnisun Kodam Jaya pernah memberikan kesaksiannya akan peristiwa mencekam tersebut sebelum akhirnya ia divonis mati dan menghabiskan 32 tahun di penjara karena keterlibatannya dalam G30S.
Latief megungkapkan jika penculikan para jenderal merupakan inisiatifnya bersama rekan sesama perwira militer lain, yakni Letkol Untung yang merupakan Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa dan Mayor Sujono yang menjabat sebagai Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim.
Selain itu, terdapat pula nama Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) PKI yang merupakan badan intelijen PKI. Mereka pun menyusun nama-nama jenderal yang akan menjadi sasaran untuk dilakukannya penculikan para jenderal yang berujung dengan pembunuhan.
Sasaran operasi terbatas PKI baru ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh antikomunis yang harus "diamankan".
Baca Juga: Sejarah G30S PKI dan Kenapa Komunis Dicap Buruk di Indonesia: Ada Peran AS di Baliknya
Mengutip dari buku "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar" tahun (2008) karya Dasman Djamaluddin, PKI telah melayangkan isu bahwa Dewan Jenderal akan merebut kekuasaan negara dari Presiden Soekarno. Isu tersebut tampak dengan adanya kabar jika para jenderal perwira memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada 5 Oktober 1965.
Menurut sumber tersebut, isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kegiatan politik melakukan kudeta terhadap negara dan bangsa tidaklah benar. Pada acara tersebut hanya terjadi Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi Angkatan Darat) yang bertugas membahas kenaikan pangkat dan jabatan dari kolonel ke brigjen dan dari brigjen ke mayjen dan seterusnya.
Dalam perundingan Abdul Latief dan perwira militer lainnya tersebut semula tidak ada rencana untuk membunuh para jenderal. Mereka hanya berniat untuk membawa para jenderal menghadap kepada Presiden/Pangti Soekarno di Istana.
Namun karena banyaknya orang yang akan dilibatkan tak jadi datang. Jumlah pasukan kurang dari 100 personel, jauh dari yang diharapkan untuk mampu memantik revolusi yang berikutnya memicu penculikan berubah jadi serangan berdarah.
Artikel Menarik Lainnya:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: