Ilustrasi Malik Ambar penguasa Deccan India bersama keluarganya. (Foto/Youtube/Kings and Generals)
Kisah Malik Ambar (1548 – 13 May 1626) merupakan contoh inspirasi seorang budak yang mampu mengubah dirinya menjadi seorang Sultan. Dia tercatat orang Afrika yang bisa menjadi raja dan penguasa de facto Kesultanan Ahmadnagar di wilayah Deccan di India.
Kekuatan Malik Ambar bahkan membuat gentar penguasa Mughal yang saat itu menjadi kesultanan yang ditakuti di wilayah Asia Tengah dan Selatan.
Di antara beberapa lukisan alegoris yang dibuat oleh Abu'l Hasan, seorang kepala pelukis di istana Kaisar Jahangir, adalah lukisan yang menggambarkan raja Mughal yang menembakkan panah ke kepala seorang budak Abyssinian yang terpenggal.
Dibuat di suatu tempat pada tahun 1620, lukisan itu adalah penggambaran sempurna dari kehebohan Jahangir terhadap seorang pria yang dianggap sebagai musuh bebuyutannya, yang ia cerca sebagai 'yang berbintang buruk' dan 'bernasib hitam' dan yang, sepanjang hidupnya, tetap menjadi duri dalam daging untuk Kekaisaran di Deccan.
Seperti yang dilansir Indian Times, kisah Malik Ambar, seorang budak Afrika yang menjadi pejuang, adalah kisah yang tidak biasa.
Dia pernah dijual dan dibeli beberapa kali oleh pedagang budak selama masa mudanya, nasib membawanya bermil-mil jauhnya dari rumahnya di Ethiopia ke India.
Di India, Ambar tidak hanya mendapatkan kebebasannya kembali, tetapi dia juga naik tangga sosial, memiliki tentara, perkebunan yang luas, dan mendirikan sebuah kota yang sekarang dikenal dengan nama 'Aurangabad'.
Dijual dan dijual kembali berkali-kali
Lahir pada tahun 1548 di wilayah Khambata Ethiopia selatan, Ambar diyakini merupakan keturunan dari suku Oromo, sebuah kelompok etnis yang sekarang mewakili lebih dari 35 persen populasi negara itu.
Saat masih kecil Ia dikenal dengan nama 'Chapu' hingga jatuh ke tangan para pedagang budak. Sejarawan percaya bahwa dia ditangkap selama perang atau dijual ke perdagangan budak oleh orangtuanya yang miskin.
Segera, Chapu muda dibawa dengan budak lain di pasar di seluruh Timur Tengah di mana ia dibeli oleh pedagang Arab. Setelah itu, ia dibeli dan dijual kembali pada beberapa kesempatan.
Mengutip sumber Eropa kontemporer dan Persia Chronicles, Sejarawan Richard M Eaton, dalam bukunya A Social History of the Deccan, 1300–1761 Eight Indian Lives, menulis bahwa Chapu dijual di pelabuhan Laut Merah Mocha (di Yaman) dengan harga delapan puluh gulden Belanda.
Dari sana, ia dibawa ke Bagdad dan “dijual kepada seorang saudagar terkemuka yang, mengakui kualitas intelektual superior dari Chapu".
Saudagar itu membesarkan dan mendidik Chapu hingga akhirnya masuk Islam, lalu memberinya nama ‘Ambar’.”
Pada awal 1570-an, Ambar dibawa ke Deccan yang kemduian disebut India selatan. Di sini dia dibeli oleh seorang pejabat bernama Chengiz Khan.
Chengiz Khan sendiri merupakan mantan budak yang bangkit hingga bisa memegang jabatan Peshwa, atau menteri utama kesultanan Nizam Shahi dari Ahmadnagar di India.
Bangkitnya budak Afrika
Ambar merupakan salah satu dari seribu 'Habshi' lainnya (istilah yang digunakan untuk merujuk pada anggota berbagai komunitas etnis dari dataran tinggi Abyssinian) yang dibeli oleh Khan, ketika takdir membawanya ke Deccan.
Eaton mencatat bahwa kesultanan Deccan secara sistematis merekrut Habshi sebagai budak di abad ke-16. Mereka sangat dihargai karena kekuatan fisik dan kesetiaan mereka, bahkan sering diangkat menjadi anggota militer.
Cendekiawan dan pengelana Maroko Abad Pertengahan abad ke-14 Ibn Battuta dalam tulisannya menyebutkan bahwa Habshi adalah “penjamin keselamatan” bagi kapal-kapal yang berlayar di Samudra Hindia. Dia mencatat bahwa para budak memiliki reputasi yang bahkan jika ada di kapal, kapal itu akan dihindari oleh bajak laut.
Namun, dalam masyarakat Deccan, budak tidak memiliki status permanen. Setelah kematian sang tuannya, mereka biasanya bisa "bebas" dan dilayani sesuai kehendak bebas mereka untuk melayani komandan yang kuat dalam Kekaisaran.
Beberapa bahkan mencapai puncaknya sehingga mereka segera dilihat sebagai pengubah permainan politik, seperti yang terjadi dalam kasus Ambar.
Lima tahun setelah mengangkatnya, tuan dan pelindung Ambar, Chenghiz Khan, meninggal, dan Ambar dibebaskan. Selama 20 tahun berikutnya, ia menjabat sebagai tentara bayaran untuk Sultan Bijapur yang bertetangga. Di sinilah dia diberi tanggung jawab pasukan kecil dan dianugerahkan dengan gelar "Malik".
'Tanah Ambar'
Pada tahun 1595, Malik Ambar kembali ke Kesultanan Ahmadnagar dan melayani di bawah penguasa Habshi yang lain.
Pada saat ini Kaisar Mughal, Akbar mulai melirik Deccan dan berniat melakukan ekspansi militer menuju Ahmednagar. Ini juga merupakan ekspedisi terakhir Akbar sebelum dia meninggal.
“Benar-benar selama invasi Mughal ke Ahmednagar pada akhir 1590-an, Malik Ambar benar-benar menjadi dirinya sendiri,” kata sejarawan Manu S Pillai seperti yang tertulis dalam bukunya Rebel Sultans: The Deccan from Khilji to Shivaji.
“Pada saat pengepungan pertama, dia memiliki kurang lebih 150 pasukan kavaleri dalam komandonya, dan dia bergabung dengan raja Habshi yang lebih tinggi. Tetapi ketika perang menghancurkan kaum bangsawan, dan menantang kesetiaan banyak orang, dalam setahun Ambar mampu menguasai 3.000 prajurit; pada tahun 1600, jumlah ini meningkat menjadi hampir 7.000, sekarang termasuk Maratha dan Dakhni lainnya – sebuah ‘kekuatan multiras, multi-etnis yang secara luas berbagi identitas regional yang berbeda dari Mughal utara’,” tulis Pillai.
Di tahun-tahun selanjutnya, Ambar kemudian menikahi salah satu putri keturunan keluarga kerajaan Ahmadnagar di Bijapur. Seorang perempuan berusia 20 tahun.
Ambar pun memproyeksikannya sebagai penguasa masa depan negara bagian Nizam Shahi melawan Mughal.
“Dengan cerdik, menggunakan otot saat dibutuhkan dan tipu daya saat itu sesuai dengan tujuannya, Ambar muncul sebagai kekuatan utama di negara bagian Ahmednagar. Pada puncak kekuasaannya, dikatakan bahwa Nizam Shahi dari Deccan barat hanya disebut sebagai 'tanah Ambar',” tulis Pillai.
Seiring perjalanan, permusuhan Ambar dengan Mughal yang dipimpin oleh Kaisar Jahangir – berlangsung selama beberapa dekade. Dia dikenal luas karena melancarkan perang gerilya terhadap tentara Mughal.
Buku Eaton menyebutkan bahwa 'jenderal demi jenderal' dikirim dari Delhi ke selatan untuk mengalahkan orang Etiopia, tetapi gagal.
“Semakin sering dia mengalahkan tentara Mughal yang unggul, semakin banyak orang yang berkumpul di sisinya; pada 1610, dia bahkan berhasil mengusir Mughal dari benteng Ahmednagar,” catat Eaton.
Pembangun Aurangabad
Selain sebagai petarung yang cakap, Ambar juga seorang administrator yang unggul. Pada tahun 1610, setelah secara singkat mengusir Mughal dari Ahmednagar, Ambar mendirikan ibu kota baru, sebuah kota bernama Khirki (sekarang Aurangabad di Maharashtra) untuk ibu kota kesultanan.
Kota ini akhirnya menjadi rumah bagi lebih dari 2 juta termasuk Maratha yang kemudian dinamai beberapa pinggiran kota seperti Malpura, Khelpura, Paraspura, dan Vithapura.
“Sekitar 1610-11 Ambar menjadikan Khirki basis kekuasaannya, dan tempat perlahan-lahan muncul sebagai pusat kota besar, di mana seperti Ambar, banyak bangsawan Maratha dan kepemimpinan militernya juga membangun rumah dan mengembangkan daerah,” kata Pillai dalam sebuah wawancara dengan Indianexpress.com.
Dalam perang yang selanjutnya, kota bersama dengan Kesultanan Ahmadnagar jatuh ke tangan Mughal.
Di bawah pemerintahan raja Mughal abad ke-17, Aurangzeb, kota itu kemudian dinamai 'Aurangabad'.
Ambar meninggal pada tahun 1626 dan dimakamkan di sebuah mausoleum, yang dirancang khusus untuknya di Khuldabad.
Anehnya, setelah kematiannya, penulis pengganti Kaisar Jahangir, Mutamid Khan membuat tulisan dengan catatan: “Dia tidak ada bandingannya sebagai panglima peperangan, dalam komando, dalam penilaian yang baik, dan dalam administrasi. Sejarah tidak mencatat contoh lain dari seorang budak Abyssinian yang tiba di puncak seperti itu.”
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: