Kategori Berita
Media Network
Selasa, 28 SEPTEMBER 2021 • 19:15 WIB

Sejarah G30S PKI dan Kenapa Komunis Dicap Buruk di Indonesia: Ada Peran AS di Baliknya

Soeharto dan Sukarno (Perpustakaan Nasional/Yayasan Idayu)

Setiap ideologi pada prinsipnya memiliki corak dan cita-citanya masing-masing. Tidak ada yang dapat dikatakan buruk maupun baik. Seperti halnya agama, semua ideologi memiliki pijakan kebenarannya sendiri-sendiri.

Di Indonesia, kebetulan, ideologi komunisme (yang merupakan turunan dari Marxisme, Leninisme, sosialisme) tidak mendapatkan tempat dalam percaturan politik. Imbasnya, ideologi komunisme dan produknya (komunis, Partai Komunis Indonesia, dan lain sebagainya) juga nyaris tidak mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat--kecuali bagi segelintir orang yang literat dan melek sejarah.

Pendek kata, komunis, komunisme, PKI, menjadi semacam "barang haram" dan harus dilenyapkan di Indonesia.

Buruknya citra komunisme, PKI, ataupun komunis di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh propaganda politik rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Sejarah tentang Gerakan 30 September 1965 (G30S) dirancang sedemikian rupa--bahkan secara khusus dbuat dalam bentuk film--agar masyarakat menangkap bahwa komunisme dan orang-orangnya (komunis) itu kejam, tak berperikemanusiaan, bahkan tak bertuhan.

Kiri: Soeharto; Kanan: Lambang PKI. (Istimewa)

Meski sudah 23 tahun Soeharto lengser, faktanya sampai sekarang mayoritas masyarakat Indonesia masih menganggap demikian.

PKI, padahal, hanyalah sebuah partai politik (parpol), tak ubahnya parpol-parpol lain seperti PNI, Masyumi, Golkar, dan lainnya yang eksis pada masa itu. 

Adapun komunisme, basis ideologi partai tersebut, juga hanyalah sebuah ideologi, tak ubahnya ideologi lain semacam kapitalisme, sosialisme, anarkhisme, humanisme, dan lain sebagainya.

Bagaimana bisa propaganda yang diusung Soeharto sedemikian berhasil sampai hari ini?

Wijaya Herlambang, dalam disertasi doktoralnya di Universitas Queensland, Australia, yang kemudian dibukukan dengan judul 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' (Marjin Kiri, 2013), menuliskan bahwa--berdasarkan riset dan wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh yang dilakukannya selama bertahun-tahun--Amerika Serikat punya andil besar dalam rekayasa sejarah yang diciptakan Soeharto.

Amerika Serikat, yang konon memusuhi ideologi komunisme dan sejenisnya (Marxisme, Leninisme, sosialisme), memegang kendali dalam memberangus komunisme di Indonesia.

"Amerika Serikat (AS) memberikan dukungan sepenuhnya atas upaya kekuatan politik dan kebudayaan pro-barat dalam gerakannya menghadang laju komunisme di Indonesia," tulis Herlambang dalam bukunya itu.

Selain bantuan militer dan ekonomi, Pemerintah AS juga menggelontorkan bantuan sangat besar untuk “memajukan” pendidikan dan kebudayaan di Indonesia melalui berbagai institusi filantropi dan kebudayaan untuk membentuk aliansi anti-komunis di Indonesia. 

"Dukungan ini sejalan dengan kebijakan politik luar negeri AS. Di Indonesia pola penghancuran komunisme dilakukan dengan mendiskreditkan politik dan kebudayaan komunis," lanjut Herlambang.

Peran Pemerintah AS dalam memerangi komunisme di Indonesia dilakukan dengan menunggangi oposisi sayap kanan yang berseberangan dengan Soekarno, yang tak lain adalah Soeharto.

Motivasi AS, menurut Herlambang, sangat jelas. Antara lain, pertama, AS menyadari potensi kekayaan alam Indonesia yang begitu besar –terutama minyak– dan mereka ingin menguasainya.

Kedua, AS waspada terhadap perkembangan PKI yang pesat sejak 1950; pascakekalahan pada 1948. Melalui Congress for Cultural Freedom (CCF) –sebuah lembaga berpusat di Paris– CIA bekerja dengan memberikan pengaruh terhadap individu yang memiliki posisi strategis di bidang politik dan kebudayaan.

"Misi utama CCF adalah melepaskan tautan para seniman dan intelektual dari komunisme," tulis Herlambang.

Tak cuma melalui jalan militer dan politik, AS juga menyusup ke bidang kesenian dan kebudayaan. Sejumlah seniman dan budayawan dilibatkan untuk menghasilkan karya-karya yang membenarkan bahwa PKI ataupun komunis itu kejam, jahat, dan dan bertuhan. Sutradara film 'Pengkhianatan G30S/PKI' Arifin C Noor dan juga penulis novelnya Arswendo Atmowiloto, termasuk dua orang di antaranya.

Apa yang dibabarkan Herlambang itu diperkuat pula dengan sejumlah kesaksian orang-orang yang hidup pada masa Gerakan 30 September 1965, termasuk salah satu saksi kunci, yakni Dokter Liauw Yan Siang.

Dokter Yan Siang, dokter yang mengautopsi enam jenazah jenderal yang menurut sejarah versi Soeharto disebut disiksa, menyatakan bahwa sesuai hasil visum et repertum, enam jasad jenderal tersebut tidak mengalami penyiksaan.

Dokter Liauw Yan Siang (dokumen Alfred D Ticoalu)

Dokter Liauw adalah satu-satunya dokter yang memeriksa mayat jenderal korban penculikan pada malam 30 September 1965, kecuali jenazah Kapten Anumerta Pierre Tendean (ajudan Jenderal A.H Nasution), yang diperiksa secara terpisah oleh Dokter Lim Joe Thay.

"Iya. Kecuali yang Tendean itu bukan saya yang kerjakan [tertawa]. (yang kerjakan) Dr Lim," kata Dokter Liauw Yan Siang, ketika diwawancarai oleh Alfred D Ticoalu di Amerika Serikat tahun 2000 silam.

Salinan hasil visum et repertum jenderal yang mati pada Gerakan 30 September 1965 (dokumen Alfred Ticoalu)

Dokter Liauw Yan Siang sendiri hanya memegang salinan hasil visum itu. Ia tidak memegang yang asli. Namun, ia yakin bahwa itu memang hasil visum yang dilakukannya.

"...Dr. Frans Pattiasina yang ditugaskan untuk menandatangani…, dan suruh ngetiknya semua dia yang ditugaskan. Tapi dia nggak mengerjakan pemeriksaan ini. Maka dia datang pada saya untuk bantuan itu…, mengoreksi apa-apa yang saya kerjakan itu, apa bener semuanya di sini," katanya, seperti dikutip dari laman Indoprogress.

Artikel Menarik Lainnya:

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

Sejarah G30S PKI dan Kenapa Komunis Dicap Buruk di Indonesia: Ada Peran AS di Baliknya

Link berhasil disalin!