Pernikahan sebagai Hukum Alam
Pernikahan dalam masyarakat Baduy dianggap sebagai bagian dari hukum alam atau sunnatullah, yang tidak hanya merupakan kebutuhan individu, tetapi juga kewajiban sosial. Tradisi pernikahan di Suku Baduy sangat kental dengan nilai-nilai adat, dengan waktu-waktu tertentu yang dianggap sebagai waktu yang tepat untuk menikah.
Biasanya, pernikahan diadakan pada bulan Kalima, Kanem, dan Kapitu, yang dianggap sebagai bulan yang baik untuk melangsungkan pernikahan. Di Baduy Luar, selain bulan-bulan tersebut, pernikahan juga bisa dilakukan pada bulan Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, dan Hapit Kayu. Sebaliknya, pada bulan Safar dan Qawal, yaitu Kasa, Kalo, dan Katiga, pernikahan dilarang dilakukan di seluruh wilayah Baduy.
Pernikahan di Suku Baduy tidak hanya mengikat pasangan secara pribadi, tetapi juga merupakan ikatan sosial yang erat. Jika seseorang menikah dengan warga dari luar suku Baduy, maka mereka akan kehilangan identitas mereka sebagai bagian dari Suku Baduy, dan diusir dari komunitas tersebut. Ini mencerminkan betapa pentingnya keberlanjutan budaya dan tradisi dalam kehidupan mereka.
Baca Juga: Mengangkat Tradisi Menandu Cinta, Perjalanan Mamahea Niowalu dalam Pernikahan Nias
Aturan Ketat dalam Pernikahan
Aturan adat Suku Baduy sangat ketat terkait dengan pernikahan. Poligami dan poliandri sangat dilarang, dan setiap individu hanya diperbolehkan menikah satu kali seumur hidup. Pernikahan ulang hanya diizinkan jika salah satu pasangan meninggal dunia. Ini mencerminkan nilai kesetiaan dan monogami yang dijunjung tinggi dalam budaya mereka.
Rumah panggung yang menjadi ciri khas tempat tinggal Suku Baduy juga melambangkan kesetiaan dan kehidupan monogami, karena rumah tersebut hanya memiliki satu pintu, yang menjadi simbol hubungan seumur hidup antara suami dan istri.
Pernikahan di Suku Baduy juga memiliki perbedaan ritual antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Di Baduy Luar, calon pengantin pria mengucapkan ikrar atau syahadat dalam bahasa Sunda kuno yang mirip dengan syahadat dalam Islam.
Sementara itu, di Baduy Dalam, pernikahan dianggap sebagai "kawin batih" atau pernikahan kekal, yang dilaksanakan di hadapan Puun, pemimpin adat. Ritual pernikahan ini dilakukan dengan syahadat yang berbeda, menggambarkan perbedaan keyakinan dan praktik ritual antara kedua kelompok dalam Suku Baduy.
Perceraian dan Poligami: Pelanggaran Berat
Perceraian dalam masyarakat Baduy adalah hal yang sangat jarang terjadi dan dianggap sebagai pelanggaran berat. Kehidupan pernikahan dianggap sebagai ikatan yang abadi, dan perceraian hanya diperbolehkan jika salah satu pasangan meninggal dunia.
Suku Baduy sangat menjaga nilai keharmonisan dalam keluarga, dan perceraian dianggap sebagai tindakan yang merusak keseimbangan sosial. Pelanggaran terhadap aturan ini akan berakibat pada pengusiran individu dari wilayah Baduy.
Baca Juga: 5 Tradisi Unik Suku Madura, Salah Satunya Ritual Ojung Agar Terhindar dari Malapetaka!
Selain perceraian, poligami dan poliandri juga dilarang keras dalam budaya Suku Baduy. Tradisi ini mencerminkan budaya patriarki yang kuat dan pengaruh agama Sunda Wiwitan, yang dianut oleh masyarakat Baduy. Dalam kehidupan sehari-hari, pria dan wanita yang belum menikah tidak diperbolehkan berkunjung ke rumah lawan jenis sendirian, menjaga kesucian dan kehormatan adat.
Kesimpulan
Suku Baduy adalah contoh masyarakat yang sangat memegang teguh tradisi dan adat istiadat mereka, terutama dalam hal pernikahan dan keluarga. Aturan-aturan ketat tentang pernikahan, larangan poligami dan poliandri, serta larangan perceraian mencerminkan nilai-nilai kesetiaan dan keharmonisan yang tinggi. Dalam budaya mereka, pernikahan dianggap sebagai ikatan seumur hidup, dan pelanggaran terhadap norma-norma tersebut akan berakibat pada pengucilan dari komunitas. Di tengah modernisasi yang terus berkembang, Suku Baduy tetap mempertahankan tradisi mereka, menjadikannya sebagai kekayaan budaya yang tak ternilai dalam keberagaman Indonesia.
Banner Z Creators Undip.