INDOZONE.ID - Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), memiliki tradisi yang kaya dan penuh makna. Salah satunya adalah Kalondo Lopi, sebuah prosesi penurunan kapal ke laut.
Tradisi ini telah berlangsung secara turun-temurun, mengiringi proses pembuatan kapal sejak awal hingga selesai.
Bagi masyarakat Sangiang, kapal dan laut adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan; laut tak berarti tanpa kapal, begitu pula sebaliknya.
Pembuatan kapal dimulai dengan doa khusus pada malam sebelum pengerjaan. Keesokan harinya, guru doa melafalkan zikir “La ilaha Illallah, Muhammadurrasulullah,” sebagai tanda dimulainya pembangunan.
Proses ini diibaratkan seperti menciptakan anak, melibatkan unsur darah merah, putih, dan hitam, yang simbolis dengan keberlangsungan hidup.
Baca Juga: Menguak Misteri Pulau Ular Bima, Tempat Ular Jelmaan Manusia
Salah satu tahap penting adalah “kancau”, yaitu penyambungan lunas kapal. Di tengah proses, sang panggita mencari pusat perahu dengan ritual doa dan pembacaan syahadat.
Selama upacara ini, sesaji seperti periuk tanah, air, dan kain kafan disiapkan sebagai simbol kelengkapan spiritual.
Tradisi Kalondo Lopi juga mencerminkan keyakinan warga Sangiang, bahwa kapal harus menyatu dengan laut, termasuk para awaknya.
Filosofi ini menekankan, bahwa kapal dan laut harus selaras agar perjalanan di laut membawa keselamatan serta keberkahan.
Sekitar tiga hari sebelum kapal diturunkan, kapal diberi nama oleh pemiliknya. Prosesi penurunan kapal dilakukan saat bulan purnama ketika air pasang, mempermudah perahu meluncur ke laut.
Baca Juga: Peneliti Temukan 'Struktur Patah' pada Lengan Bima Sakti!
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Badan Bahasa Kemdikbud