Kamis, 07 NOVEMBER 2024 • 14:09 WIB

Hilangnya Dukuh Legetang dalam Semalam: Kena Azab Homoseksual atau Bencana Alam?

Author

Dukuh Legetang, Banjarnegara, Jawa Tengah. (X/mwv.mystic)

INDOZONE.ID - Di tengah hamparan hijau dataran tinggi Dieng, tersimpan kisah tragis Dukuh Legetang, yang terhapus dari peta oleh bencana yang hingga kini masih menjadi legenda di benak masyarakat. Legetang adalah sebuah dukuh yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Dieng Kulon.

Kisah tentang Legetang bukanlah cerita biasa tentang tanah longsor atau bencana alam semata, melainkan sebuah narasi yang mengandung teka-teki dan dibalut dengan legenda tentang karma dan hukuman.

Kisahnya hilangnya Dukuh Legetang

Pada tanggal 17 April 1955, dalam sekejap, dukuh yang dikenal subur dan makmur ini hilang, terkubur di bawah timbunan tanah akibat longsoran besar dari Gunung Pengamun-amun.

Malam itu, diiringi oleh hujan deras, terdengar suara gemuruh menggelegar, seperti ada benda besar yang jatuh dan memekakkan telinga hingga terdengar sampai desa-desa sekitar.

Baca Juga: 4 Mitos Populer Tentang Kucing Hitam yang Masih Dipercaya, Emang Benar?

Warga yang mendengar suara itu berusaha mencari tahu asalnya, namun sekejap saja, Legetang telah hilang tanpa jejak, tertimbun tanah dan batu. Longsoran ini diduga berasal dari Gunung Pengamun-amun yang seolah-olah terbelah, menyisakan bagian yang tampak terpotong dengan cara yang misterius.

 

Korban Jiwa

Peristiwa ini menelan nyawa 351 orang warga Legetang, hanya menyisakan satu orang yang selamat, meskipun kisah tentang orang yang bertahan hidup ini pun masih diliputi oleh kabar simpang siur.

Masyarakat Dieng tidak memandang bencana ini hanya sebagai musibah alam. Sejak dulu, cerita yang berkembang di sekitar Legetang memiliki nuansa mistis, berhubungan dengan mitos azab yang ditimpakan akibat perilaku masyarakatnya.

Benarkah karena tindakan maksiat?

Berbagai desas-desus beredar, menyebutkan bahwa masyarakat Legetang kala itu tenggelam dalam praktik-praktik maksiat, yang meliputi perjudian, prostitusi, hingga homoseksualitas. Cerita bahkan mengatakan bahwa tempat ibadah, mushala yang ada di dukuh tersebut, telah disalahgunakan untuk aktivitas judi, sebuah pelanggaran moral yang dianggap sangat berat bagi masyarakat setempat.

Baca Juga: Mengenal Baiae, Kota Maksiat di Zaman Romawi Kuno yang Kini Sudah Tenggelam!

Di dalam narasi rakyat, bencana ini sering kali disandingkan dengan kisah-kisah kehancuran legendaris seperti Soddom dan Gommorah dalam teks suci. Bagi sebagian orang, fenomena longsor ini dianggap sebagai bentuk hukuman atas perilaku yang dianggap menyimpang. Narasi ini semakin kuat karena anomali geologis yang terlihat dari arah longsoran.

Sebuah fakta yang mencengangkan ialah Gunung Pengamun-amun yang runtuh seakan mengabaikan batasan alamiah berupa jurang dan sungai yang memisahkan gunung dari Legetang, seolah-olah longsoran itu sengaja “melompati” sungai dan jurang tersebut dan langsung menghantam Legetang.

Hal inilah yang menguatkan kepercayaan masyarakat bahwa bencana ini adalah azab, sebuah hukuman langsung dari kekuatan yang lebih besar.

Masih misterius

Hingga kini, peristiwa tragis ini tetap menjadi kisah yang penuh teka-teki, menyisakan ruang bagi masyarakat untuk berspekulasi. Meskipun ilmu pengetahuan modern mencoba memberikan penjelasan logis terkait fenomena longsoran Gunung Pengamun-amun, bagi masyarakat Dieng, legenda tentang azab Legetang menjadi sebuah pengingat akan pentingnya menjaga norma dan moral.

Dataran tinggi Dieng, dengan keindahan alamnya yang memikat, tetap menyimpan kisah kelam tentang sebuah dukuh yang hilang dalam hitungan malam, sebuah kisah yang akan terus hidup dari mulut ke mulut, seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Dieng.

Banner Z Creators.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Direktorat Pelindungan Kebudayaan