Sebelum Irjen Ferdy Sambo tega menghabisi nyawa ajudannya Brigadir Yosua Hutabarat, seorang polisi Wakapolres Lombok Tengah Kompol Fahrizal tega menembak mati adik iparnya.
Peristiwa itu terjadi pada malam hari di kampung halaman pelaku di Kota Medan, Sumatera Utara pada 4 Maret 2018 lalu.
Saat itu pelaku sedang berkunjung ke rumah korban dengan niatan untuk menjenguk ibunya yang baru sembuh dari sakit.
Kompol Fahrizal sebelum bertugas di Nusa Tenggara Barat menjabat sebagai Kasat Reskrim Polrestabes Medan.
Entah apa yang melatarbelakangi penembakan itu, namun aksi koboi itu dilakukan Kompol Fahrizal saat mendapat cuti untuk mengunjungi kampung halamannya di Jalan Tirtosari, Medan Tembung.
Di sinilah terjadi peristiwa nahas itu. Kompol Fahrizal dan Jumingan terlibat pertengaran serius.
Hingga kemudian membuat perwira polisi itu kalap hingga mengeluarkan sepucuk senjata api yang dibawanya walau tidak sedang bertugas.
Usai tindakan biadab itu, didampingi sang ibu, Fahrizal menyerahkan diri ke polisi. Polisi menyita sepucuk senjata api yang diduga digunakan untuk menembak korban.
Setelah menyerahkan diri, pelaku kemudian menyerahkan diri. Sementara korban, Jumingan dibawa ke kampung halaman untuk dikebumikan di Asahan.
Kompol Fahrizal divonis bebas
Usut punya usut, Kompol Fahrizal ternyata memiliki riwayat sakit gangguan jiwa atau 'Skizofrenia Paranoid'.
Belum diketahui kapan awal, sang polisi mengidap gangguan jiwa itu. Namun beberapa tahun belakangan yang bersangkutan sudah menjalani perawatan dan menjalani konsultasi dengan dokter terkait dengan kondisinya.
Hingga pada 7 Februari 2019, Fahrizal divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan. Dia dinyatakan tidak bersalah atas perbuatannya, menembak mati adik iparnya, Jumingan.
Ia tidak dapat diminta pertanggungjawaban karena mengalami gangguan jiwa atau 'Skizofrenia Paranoid'.
"Memerintahkan agar Fahrizal dikeluarkan dari tahanan dan selanjutnya menjalani perawatan di rumah sakit jiwa," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan Deson Togatorop, dalam amar putusannya, sebagaimana dikutip dari Antara.
Majelis hakim menyebutkan, terdakwa mengalami gangguan kejiwaan dan pernah mendapatkan perawatan, sehingga hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan.
Meski terdakwa, menurut hakim, terbukti melanggar pasal 338 KUHP, namun tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana.
"Karena pada saat kejadian tersebut, kondisi kejiwaan terdakwa terganggu," kata hakim Togatorop.
Usai membacakan putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sumut Randi Tambunan dan penasihat hukum terdakwa Fahrizal, Julisman tidak mengajukan banding.
Artikel menarik lainnya:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: