Suasana makam Desa Ngujang Tulungagung. (Z Creator/Fimanto Imansyah)
Makam Ngujang ada di Desa Ngujang, Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Lokasinya tepat ada di sisi selatan sebelah barat jembatan Ngujang 1 Tulungagung, lokasi makam umum ini berhadapan langsung dengan makam umum warga Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bong Cino.
Keberadaan makam ini kerap dikaitkan dengan berbagai mitos dan kabar tak sedap, bahkan tak sedikit masyarakat yang mengaitkan keberadaan makam ini dengan pesugihan.
Konon katanya, orang yang jadi tumbal dalam pesugihan di lokasi ini akan menjadi kera saat mati dan mendatangi keluarganya lagi dalam wujud kera.
Mitos lain yang beredar adalah jumlah kera di makam ini yang selalu tetap dan tidak pernah berkurang, selain itu cerita lain yang berkembang dari mulut ke mulut adalah adanya sumur tua di bagian belakang makam yang berisi foto atau gambar calon tumbal pesugihan.
Baca juga: Percaya Gak Percaya, Pelaku Pesugihan Ini Kena Kanker Payudara karena Menyusui Tuyul
Namun, hal ini langsung disanggah oleh juru kunci makam Ngujang, Ribut Katenan.
Ribut mengakui mitos yang beredar itu tidak benar dan dilebih-lebihkan, bahkan 21 tahun selama menjadi juru kunci di makam ini, dirinya tidak pernah menemui hal yang aneh-aneh tentang pesugihan.
"Saya juga heran dengan adanya cerita pesugihan yang beredar," ucapnya.
Berikut beberapa fakta dan mitos makam Ngujang yang kerap menjadi cerita di masyarakat
Sebagian masyarakat percaya dengan keberadaan kera gaib di makam ini, kera ini disebut gaib karena kadang mereka ada di satu lokasi makam dalam jumlah banyak, namun di waktu lain mereka tiba-tiba tidak kelihatan sama sekali.
Menanggapi hal ini, Ribut mengatakan kera di makam ini bisa dilihat dengan mata oleh semua orang, sehingga tidak ada yang disebut kera gaib tersebut.
"Lha wong semua orang bisa ngeliat kok gaib, kalau yang liat hanya satu dua orang, nah itu baru gaib, kalau kera disini itu tidak gaib tapi dilindungi barang gaib," ujarnya.
Kalau ada yang kadang banyak namun kadang hilang, menurutnya itu karena kera selalu berpindah tempat ke lokasi yang ada makanannya, seperti di sekitar rumah penduduk atau di pinggir jembatan, sebab sesekali ada pengguna jalan yang melemparkan pisang atau kacang dan makanan lainnya untuk kera.
"Coba sekarang ini tidak ada kera, itu bukan hilang tapi memang kera kera sedang berpindah tempat. Kadang di utara jembatan, kadang ada di selatannya, kadang di sebelah barat, karena hewan ini kan manut sama kera yang dianggap paling tua," jelasnya.
Kobong dalam bahasa Jawa adalah terbakar, namun Kobong dalam hal ini menurut Ribut bukan berarti terbakar melainkan lebih ke plesetan dari perkataan ko bong yang berarti baru saja keluar dari bong, bong yang dimaksud adalah makam Cina atau Bong Cino yang ada di seberang makam Ngujang.
Guyonan tersebut dianggap serius oleh masyarakat dan terus beredar luas hingga saat ini.
"Ko-Bong, artinya dari Bong, bukan Kobong yang artinya terbakar, ini kan awalnya cuman guyonan," jelasnya.
Ribut juga mengakui dengan adanya istilah Kobong ini, banyak masyarakat yang mengaitkannya dengan kisah anoman Kobong yang terkenal itu, namun sekali lagi Ribut membantahnya.
"Sering kalau dikaitkan dengan cerita Anoman Kobong, padahal ndak seperti itu," ungkapnya.
Ada juga yang menyebut kera Ngujang tidak bisa mati, Ribut langsung membantah hal ini sebab dirinya berulang kali menguburkan kera yang mati karena berbagai hal.
Mulai dari sakit, kemudian luka atau karena tertabrak kendaraan yang lewat.
Baca juga: 3 Warung Mie Ayam Enak Tapi di Luar Nalar, Salah Satunya Disebut Pakai Pesugihan Pocong!
Lagi lagi mitos ini bersumber dari celetukan guyonan masyarakat yang akrab dengan istilah angka Judi Togel.
Dalam kitab judi togel, hewan kera disimbolkan dengan angka 23, kemudian masyarakat menyebutnya kera Ngujang dari dulu sampai sekarang tetap 23.
Padahal bukan jumlahnya yang 23, melainkan simbol dalam kitab 1001 mimpi itulah yang tetap 23.
"Arti kata sama itu kan luas, maksudnya sama-sama kera dan tidak berubah jadi kambing. Atau sama-sama 23 yang awalnya dari guyonan nomor togel, dan hal-hal semacam inilah yang dianggap menjadi kebenaran," ungkap Ribut.
Ada juga ungkapan yang menyebut jumlah kera di makam Ngujang tak terhitung, Ribut mengakui jumlahnya memang tak terhitung sebab selama ini belum pernah ada yang menghitungnya.
Namun kondisi ini sering diterjemahkan sebagai hal mistis bahwa kera di pemakaman ngujang tak bisa dihitung.
"Ya siapa yang mau ngitung coba, apa bisa menghitung jumlah kera?" tanya Ribut.
Petilasan ini jarang diketahui oleh masyarakat, mungkin masyarakat sudah keburu ngeri mendengar mitos yang telah dipercayai sehingga sudah takut duluan saat mendengar kata makam Ngujang.
Padahal petilasan itu sampai saat ini masih dirawat dengan baik, lokasinya ada di sebelah utara pintu masuk makam ini.
Ribut berkisah, zaman dulu sunan Kalijogio pernah memberikan wejangan kepada sejumlah muridnya di lokasi ini, namun saat memberikan wejangan itu, kerap muncul suara aneh mirip suara kera.
Suara kera yang "ngak-nguk" itu kemudian menjadi sebutan asal usul desa ini yakni desa Ngujang, yang diyakini berasal dari kependekan kata "Ngak-Nguk saat Diwejang".
"Nah itu jadi asal usul sini disebut desa Ngujang, saat di wejang ada suara ngak nguk ngak nguk," ucap Ribut
Ribut mengakui, masyarakat masih mempercayai adanya sumur tua di sekitar petilasan Suna Kalijogo yang berisi sedikit air, kemudian dikisahkan bagi pemburu pesugihan akan diajak menuju ke sumur itu untuk melihat wajah siapa yang akan muncul di dalam air di sumur itu.
Wajah yang muncul itu diyakini sebagai wajah dari tumbal atas pesugihan yang tengah dikejar oleh orang tersebut.
Ribut membantah hal itu, sebab di dalam petilasan dengan keramik berwarna hijau ini tidak ada sumur sama sekali, yang ada di dalamnya hanyalah tumpukan batu yang dulu digunakan tempat duduk Sunan Kalijogo saat memberikan wejangan kepada murid-muridnya.
Ribut mengungkapkan, dua patung laki laki dan perempuan di lokasi ini adalah patung Dewi Sri dan Joko Sedono.
Sedangkan 3 patung lainnya adalah patung dari 1 juru kunci sebelumnya, serta patung pasangan suami istri dari masyarakat biasa yang dimakamkan di lokasi ini.
Hal ini sekaligus meluruskan berita yang menyebut patung-patung tersebut dengan berbagai versi.
"Itu Patung Dewi Sri dan Joko Sedono, dan satu lagi patung mbah saya serta satu pasangan suami istri yang dimakamkan disini, tapi cerita yang berkembang sudah lain kemana-mana," ucapnya.
Setiap kali ada peziarah yang datang ke petilasan ini selalu ditanya maksud dan tujuannya, banyak juga yang mengakui datang ke lokasi ini untuk menjadi kaya raya, namun Ribut berulang kali mengingatkan bahwa semua bersumber dari Allah SWT.
Dirinya kerap kali mengingatkan peziarah agar memikirkan ulang niat mereka ke petilasan, agar tidak memburu menjadi kaya namun datang dengan dengan tujuan untuk mendoakan orang orang yang telah meninggal dunia agar mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
"Setelah saya kasih tahu begitu, ada yang langsung pulang ya mungkin merasa niatnya salah. Ada juga yang tetap mau berdoa, ya saya persilahkan asal dengan tujuan yang baik," ucap Ribut.
Artikel Menarik Lainnya:
Bikin cerita serumu dan dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di sini.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: