Ilustrasi umat Hindu bersembahyang saat Hari Raya Nyepi (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Tahun ini, Hari Suci Nyepi jatuh pada tanggal 14 Maret 2021.
Penanggalan tahun baru ini berdasarkan hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dianggap sebagai hari penyucian dewa-dewa di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup.
Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah dan makna perayaan Hari Raya Nyepi yang berlangsung setiap tahun ini?
Nyepi berasal dari kata sepi (artinya sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan pada kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi.
Dalam perhitungan kalender Saka, satu tahun memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa.
Bagi umat Hindu, Tahun Baru Saka atau Hari Suci Nyepi mengandung makna mendalam sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari toleransi, hari kebersamaan, hari kedamaian, dan hari kerukunan nasional.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung (alam semesta/macrocosmos).
Karena itulah, ada beberapa aturan yang harus ditaati oleh umat Hindu saat Hari Raya Nyepi tiba, yaitu:
Aturan ini bersifat larangan. Semua umat Hindu yang merayakan Nyepi dilarang menyalakan api, cahaya, dan listrik, atau menunjukkan sifat amarah seperti nyala api.
Amati Lelanguan merupakan larangan bagi siapa pun untuk bepergian, melakukan kegiatan foya-foya atau bersenang ria secara berlebihan.
Biasanya, aturan ini diikuti dengan berpuasa penuh selama Hari Raya Nyepi.
Aturan wajib saat Nyepi berikutnya adalah Amati Karya yang berarti tidak boleh bekerja selama perayaan Nyepi.
Sesuai maknanya, perayaan Tahun Baru Nyepi setiap tahun dimulai dengan kegiatan menyepi. Artinya, tidak ada aktivitas seperti biasa.
Ritual Nyepi ini berlaku 24 jam, mulai dari pukul 06.00 pagi hingga 06.00 pagi keesokan harinya sesuai hitungan waktu setempat.
Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum. Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Kendati demikian, orang-orang yang merayakan Nyepi tidak serta-merta hanya berdiam diri di rumah.
Terdapat beberapa rangkaian tradisi umat Hindu saat Hari Raya Nyepi setiap tahun, khususnya di daerah Bali, antara lain:
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis.
Pada hari itu, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau untuk dibersihkan atau disucikan.
Bagi umat Hindu, laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan dipercaya dapat menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Kemudian, di sekitar laut atau danau itu pula umat Hindu akan melakukan sembahyang bersama.
Di Bali sendiri, Pantai Sanur, Pantai Klotok, dan Pantai Candidasa sering dijadikan tempat untuk prosesi Melasti.
Satu hari sebelum Nyepi yaitu pada 'tilem sasih kesanga' (bulan mati ke-9), seluruh umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya.
Makna dari upacara Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Untuk diketahui, di kalangan masyarakat Hindu, Buta Kala dianggap akan menimbulkan penyakit, malapetaka, dan kematian.
Saat upacara Buta Yadnya, seluruh masyarakat dari segala tingkatan akan mengambil salah satu caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya.
Upacara Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian atau pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.
Caru yang ada di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah sembilan tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (warna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak.
Prosesi tawur atau pecaruan biasanya diikuti oleh upacara pengerupukan (ngerupuk). Nah, pada bagian ini, umat Hindu akan melakukan beberapa ritual.
Di antaranya, menyebar nasi tawur, mengobori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh.
Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Di Bali, pengerupukan biasa dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling desa dan kemudian dibakar di atas api unggun. Tujuannya sama yaitu untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.
Biasanya, ogoh-ogoh digambarkan berupa boneka raksasa yang terbuat dari kertas dan bambu.
Keesokan harinya yaitu pada pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya.
Pada hari ini, suasana seperti kota mati. Tidak ada kesibukan aktivitas pada umumnya. Di hari ini, umat Hindu akan melaksanakan 'Catur Brata' Penyepian.
Catur Brata Penyepian meliputi 3 aturan Hari Raya Nyepi, yakni amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), dan amati lelanguan (tidak berfoya-foya).
Dalam Catur Brata Penyepian ini ada beberapa hal yang biasa dilakukan umat Hindu, yaitu:
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan pada tahun yang baru.
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada 'pinanggal ping kalih' (tanggal 2) sasih kedasa (bulan ke-10).
Pada hari ini, Tahun Baru Nyepi sudah memasuki hari kedua. Umat Hindu akan melakukan Dharma Santi (silaturahmi), dari siang hingga sore.
Dharma Santi dilakukan dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih.
Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang memandang semua manusia di seluruh penjuru Bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Karena itu, setiap manusia hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan, serta hidup damai dan rukun.
Bersamaan dengan hari Ngembak Geni, ada tradisi unik turun-temurun bernama Omed-omedan yang hanya bisa ditemui di daerah Sesetan, Denpasar.
Tradisi Omed-omedan diikuti oleh para pemuda-pemudi setempat berusia 17 hingga 30 tahun yang belum menikah.
Omed-omedan dimulai dengan sembahyang bersama. Lalu, akan dibagi dua kelompok yaitu laki-laki dan perempuan. Kedua kelompok ini akan berdiri berhadapan.
Nantinya, kedua kelompok ini tarik-menarik, berpelukan, dan berciuman pipi sambil disiram air oleh semua masyarakat yang hadir.
Namun sebelum itu, semua peserta Omed-omedan diwajibkan mengikuti upacara atau sembahyang di Pura Banjar.
Selain tradisi unik Omed-omedan, tradisi Mebuug-buugan juga dilakukan oleh warga Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.
Tradisi ini diambil dari kata 'buug', artinya tanah atau lumpur untuk membersihkan diri saat menyambut tahun yang baru.
Sesuai namanya, dalam tradisi Mebuug-buugan, setiap orang akan mengotori badan mereka dengan lumpur. Jadi bisa dibilang, ini seperti perang lumpur.
Perang lumpur ini boleh diikuti oleh kaum laki-laki maupun perempuan dari semua usia.
Setelah kotor-kotoran dengan lumpur, semua peserta akan berjalan menuju pantai di bagian Barat untuk membersihkan diri.
Meski terkesan aneh, tradisi Mebuug-buugan sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan masih dilestarikan, setelah sempat terhenti selama 60 tahun dan mulai ramai lagi pada tahun 2015.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: