INDOZONE.ID - Setiap tahun, masyarakat pesisir Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim), menggelar sebuah tradisi yang penuh makna,yakni Upacara Petik Laut.
Ritual yang telah berlangsung sejak 1901 ini, merupakan wujud syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki dari laut, sekaligus permohonan keselamatan bagi para nelayan.
Upacara ini selalu diadakan pada 15 Suro, bertepatan dengan bulan purnama. Momentum ini dipilih karena dipercaya membawa keberkahan dan kemudahan dalam pelarungan sesaji ke laut.
Prosesi berlangsung selama tiga hari, dimulai dengan doa bersama dan diakhiri dengan puncak acara pelarungan di Tanjung Sembulungan.
Tradisi Petik Laut bukan sekadar ritual tahunan. Ia mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal, seperti gotong royong, religiusitas, dan estetika.
Baca Juga: Misteri Penangkal Santet Mentawai: Keberadaan Sikerei dan Tradisi Mistis yang Tetap Hidup
Selama upacara, masyarakat bersama-sama mempersiapkan sesaji, memperkuat solidaritas komunitas. Doa-doa dalam berbagai bahasa, termasuk Arab dan Jawa, menunjukkan harmoni antara nilai tradisional dan keagamaan.
Hari pertama dimulai dengan pengajian di masjid. Hari kedua, diadakan khataman Al-Qur'an, lalu menjadi puncak acara keesokan harinya.
Sementara itu, sebuah perahu kecil, gitik, yang dihias penuh estetika, diisi dengan sesaji berupa kepala kambing kendit, ayam hidup, pancing emas, hingga berbagai hasil bumi. Perahu ini kemudian dilarung ke laut, simbol penghormatan terhadap alam.
Seluruh lapisan masyarakat Muncar, tanpa memandang agama, terlibat dalam upacara ini. Uniknya, tradisi ini juga menjadi magnet wisata, menarik ribuan pengunjung yang ingin menyaksikan keindahan dan kekayaan budaya lokal.
Rangkaian acara dimulai dari perkampungan nelayan hingga pelabuhan Muncar. Pelarungan dilakukan di Plawangan, sebuah lokasi tenang di tengah laut yang diyakini sebagai pintu komunikasi dengan penjaga pantai.
Baca Juga: Memahami Tradisi Wiwitan atas Hasil Panen Melimpah dalan Masyarakat Jawa
Meskipun zaman terus berubah, masyarakat Muncar tetap mempertahankan tradisi ini sebagai identitas budaya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Artefak