Pasukan perempuan Kerajaan Dahomey ketika berada di Prancis.
INDOZONE.ID - Pada suatu masa di abad ke-17 hingga abad 19 Masehi, berlokasi di bagian barat Benua Afrika, terdapat sebuah kerajaan yang berdiri kokoh dengan kisahnya yang unik dan menakjubkan, yaitu Amazon Dahomey, sebuah unit militer yang seluruh pasukannya adalah perempuan.
Kerajaan Dahomey yang berlokasi di Afrika Barat, saat ini Negara Benin, memiliki suatu unit pasukan militer yang beranggotakan perempuan. Berdasarkan informasi pada laman The Washington Post, mereka adalah satu-satunya pasukan militer dalam sejarah dunia yang seluruhnya beranggotakan perempuan.
Batas wilayah Kerajaan Dahomey berwarna merah.
Didirikan pada awal abad ke-17 Masehi, Kerajaan Dahomey yang bermula dari Kota Abomey terus memperluas wilayahnya pada masa kepemimpinan Raja Houegbadja (1645-1685), raja ketiga dari Kerajaan Dahomey.
Raja Houegbadja berhasil meyakinkan berbagai klan dan kepala suku yang di wilayah tersebut untuk bergabung bersama menjadi satu kesatuan wilayah, dengan prinsip utama Kerajaan Dahomey, yaitu kerajaan berbasis militer, selalu menang, disiplin, dan bersatu atas dasar otoritas politik yang terpusat.
Menurut UNESCO, pada mulanya para perempuan dari Kerajaan Dahomey ditugaskan untuk menjadi bagian dari rombongan pengawal di istana kerajaan. Para anggota pemburu gajah yang dikenal dengan nama gbeto dipilih oleh kerajaan untuk bergabung menjadi kesatuan tentara perempuan pertama di kerajaan tersebut.
Seiring dengan semakin berkembangnya Kerajaan Dahomey, Raja Ghezo (1818–1858) memutuskan untuk menambah jumlah pasukan tentara perempuannya untuk mengimbangi kekurangan tentara akibat perang yang berkecamuk selama masa kepemimpinannya, khususnya melawan Kerajaan Oyo, musuh utama dari Kerajaan Dahomey.
Pasukan perempuan Kerajaan Dahomey.
Dalam kepemimpinan Raja Ghezo, ia menerapkan sebuah prinsip yang secara rutin mendaftarkan gadis-gadis remaja di seluruh wilayah Kerajaan Dahomey untuk bergabung ke dalam bagian unit militer perempuannya.
Ia juga mengizinkan para perempuan yang berasal dari tawanan perang dan anak perempuan yang ditangkap dalam penggerebekan di desa-desa di kerajaan tetangga untuk dapat bergabung pula ke dalam unit militer tersebut. Oleh karena itu, unit tentara perempuan tersebut terdiri dari perempuan dari Dahomey dan perempuan dari kelompok penduduk lain di sekitar wilayah tersebut.
Anggota tentara perempuan tersebut mendapatkan beberapa keistimewaan yang diberikan oleh sang raja. Mereka tinggal di istana kerajaan yang tidak boleh dimasuki siapapun, selain oleh sang raja sendiri, kecuali ketika pada saat perayaan khusus.
Mereka juga disumpah untuk tidak menikah dengan sembarangan orang. Hanya sang raja lah yang dapat menjadikan beberapa dari mereka sebagai istri atau mengawinkan mereka dengan pejabat kerajaan, panglima perang, atau tentara yang menonjol karena keberanian mereka dalam pertempuran.
Di luar istana kerajaan, para tentara perempuan ini membawa dan membunyikan lonceng kecil untuk memperingatkan masyarakat atas kehadiran mereka. Para penduduknya diharuskan untuk menepi, membungkuk dan mengalihkan pandangannya dari mereka.
Baca Juga: Kaghati Kolope, Layang-layang Tradisional Tertua Kebanggaan Indonesia yang Berumur 4 Ribu Tahun
Mereka berlatih dengan sangat intensif, termasuk latihan untuk melakukan serangan dalam skala besar. Dengan demikian, prajurit perempuan ini dapat menjadi lebih kuat, lebih fleksibel, lebih tangguh, dan memiliki jiwa yang berkemauan keras. Selain itu, mereka juga melakukan ritual sihir nan religius dan dilatih untuk dapat membunuh tanpa ragu-ragu.
Salah satu tujuan mereka adalah untuk mengungguli laki-laki dalam segala hal. Menurut laporan para pendatang dari Eropa, mereka berhasil dalam upaya tersebut, mereka lebih terorganisir, lebih cepat, dan lebih berani dibandingkan dengan tentara laki-laki.
Pada abad ke-19, setelah dilarang dan dihapuskannya perdagangan budak, negara-negara Eropa mulai berlomba untuk menjajah Benua Afrika. Tujuan mereka tentunya adalah untuk memanfaatkan kekayaan alam dari negara-negara Afrika yang sangat kaya tersebut.
Negara-negara Afrika dibagi oleh negara-negara Eropa berdasarkan syarat-syarat yang disepakati pada Konferensi Berlin tahun 1885, yang dihadiri oleh negara-negara besar Eropa. Para penguasa dan masyarakat Afrika tidak diikutsertakan dalam setiap negosiasi yang diadakan tersebut.
Hadirnya kolonialisme dari para negara-negara Eropa ini mengakibatkan ketegangan meningkat di Cotonou, suatu wilayah di pesisir pantai Kerajaan Dahomey. Raja Glele dari Kerajaan Dahomey menandatangani perjanjian dengan Perancis, pada tahun 1852, 1868 dan 1878, yang mengizinkan kehadiran dari pedagang Perancis di kerajaannya.
Namun, perjanjian yang dilakukan pada tahun 1878 menimbulkan banyak perselisihan antar kedua belah pihak tersebut. Hal tersebut diakibatkan karena perjanjian tersebut ditafsirkan secara berbeda oleh kedua pihak dan tidak mencerminkan budaya daerah dari Kerajaan Dahomey.
Dengan pemikiran kolonialisme yang sudah mendarah daging, pemerintah Perancis terus memperluas kendalinya atas wilayah pelabuhan tersebut, dengan mendirikan pos bea cukai, menggali saluran, dan pendudukan militer, untuk memaksimalkan keuntungan dari wilayah pusat perdagangan ini.
Raja Behanzin, sang penerus dari Raja Glele, menilai tindakan Prancis melanggar kedaulatan dari kerajaan yang ia pimpin tersebut dan ia bereaksi dengan cepat. Perang antara Kerajaan Dahomey dan Perancis pun tidak bisa dihindari.
Ilustrasi pasukan perempuan dalam perjalanan menuju medan peperangan.
Pada dini hari tanggal 4 Maret 1890, Raja Behanzin memerintahkan pasukan unit perempuannya, Amazon Dahomey, untuk menyerang wilayah Cotonou. Meskipun mendapat perlawanan dari Prancis, beberapa tentara perempuan Dahomey mampu menembus bagian dalam dari kubu pertahanan Perancis yang dilindungi tersebut.
Terkejut akibat serangan tersebut, pasukan Prancis yang membawa senjata tidak berani menyerang pasukan perempuan Dahomey tersebut, bahkan beberapa di antaranya masih berusia 16 tahun ketika perang tersebut terjadi.
Para prajurit perempuan Dahomey melompat ke arah pasukan Perancis untuk memaksa mereka melakukan pertarungan jarak dekat dengan menggunakan tangan kosong. Setelah bertempur selama empat jam, sayangnya pasukan Dahomey harus mundur kembali ke wilayahnya. Beberapa bulan kemudian, perjanjian damai ditandatangani oleh kedua belah pihak dan Raja Behanzin menyerahkan wilayah Cotonou dan Porto Novo ke Perancis
Kedamaian tersebut hanyalah kedamaian yang semu. Perancis siap memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun untuk melancarkan penyerangan ke wilayah Dahomey. Peluang itu muncul pada tanggal 27 Maret 1892 ketika tentara Dahomey menembaki sebuah kapal perang Prancis yang saat itu sedang berlayar menyusuri Sungai Weme, di wilayah Kerajaan Dahomey.
Baca Juga: Ito Hirobumi, Sang Pendekar Samurai yang Jadi Perdana Menteri Pertama di Jepang
Akibat serangan Dahomey terhadap kapal perang tersebut, Perancis mengerahkan pasukan militernya yang terdiri dari sekitar 3.000 orang. Pasukan Prancis dipersenjatai dengan senjata api model terbaru dan artileri berat.
Kolonel Alfred Dodds memimpin pasukan tersebut. Perintahnya adalah untuk bergerak ke wilayah Kerajaan Dahomey dan menggulingkan Raja Behanzin dari kekuasaan.
Ketika pasukan Perancis semakin dekat ke pusat Kerajaan Dahomey, Raja Behanzin melancarkan banyak serangan dadakan untuk memperlambat dan melemahkan musuh mereka. Tentara perempuan Kerajaan Dahomey sering kali berada di garis depan dalam penyergapan ini.
Pasukan militer Perancis dengan senjata dan sumber daya yang lebih baik, terus maju tanpa bisa dihindarkan. Banyak tentara perempuan dari Kerajaan Dahomey yang tewas.
Pasukan Perancis berhasil masuk ke pusat Kerajaan Dahomey pada 17 November 1892 setelah lebih dari dua bulan melakukan pertempuran yang luar biasa. Ini menandai berakhirnya Kerajaan Dahomey dan pasukan perempuannya yang fenomenal tersebut.
Pasukan perempuan Kerajaan Dahomey ketika berada di Prancis.
Raja Behanzin ditangkap pada tanggal 15 Januari 1894 dan dideportasi ke Negara Martinique dan kemudian ke Aljazair, di mana ia meninggal pada 10 Desember 1906. Kerajaan Dahomey pun menjadi kepemilikan antara Negara Prancis, Togo Jerman, dan Nigeria Britannia.
Sepanjang sejarah Kerajaan Dahomey, tentara perempuannya dipandang dengan sangat terkemuka karena keberanian yang mereka tunjukkan selama pertempuran, keterampilan mereka dalam pertempuran, dan pengabdian mereka yang loyal kepada raja yang berkuasa.
Kisah dari pasukan Amazon Dahomey telah berevolusi dalam budaya populer modern saat ini. Reputasi merekalah yang menginspirasi Pasukan Dora Milaje dalam cerita Marvel di Kerajaan Wakanda. Dora Milaje, yang sebagian mengambil inspirasi dari kisah ini, mewujudkannya dalam wujud yang modern dari kekuatan dan kesetiaan terhadap kerajaan tempat dimana mereka berada.
Writer: Putri Octavia Saragih
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: UNESCO Women In African History