Bu Marni yang makin kepo akhirnya dateng lebih pagi. Dia lihat Bu Sri lagi duduk, matanya merem, mulutnya komat-kamit, seperti lagi ritual. Angin dingin berhembus, bau bunga kantil menyengat.
Waktu Bu Marni pura-pura nggak lihat, Bu Sri tiba-tiba berdiri dan menatap langsung. Matanya hitam legam tanpa bola mata.
Besok paginya, Bu Marni nemu bunga kantil segar dan sisa kemenyan di depan lapak Bu Sri. Waktu bunga itu diendus, badannya langsung menggigil. Dia simpan bunganya di toples kaca.
Tapi malamnya, dia mimpi buruk. Dalam mimpinya, Bu Sri duduk di lapak dengan kebaya putih, nyisir rambut sambil ngomong, “Marni… ganti tumbalku.”
Waktu bangun, toples kaca yang isinya bunga kantil udah berubah jadi abu.
Seremnya lagi, keesokan paginya, anak Pak Joko mimisan dan ngomong dalam tidur, “Ibu berkebaya putih minta aku…”
Baca Juga: Kisah Mistis Gunung Raung: Misteri Kerajaan Macan Putih, Pasar Setan, dan Pondok Berhantu
Bahkan rumah kontrakan yang katanya ditinggali Bu Sri ternyata kosong bertahun-tahun. Ini fix, Bu Sri bukan manusia biasa.
Desas-desus makin gila. Ada yang lihat Bu Sri ritual tengah malam sama ayam cemani, ayam hitam yang darahnya biasa dipakai buat pesugihan.
Mbak Tia yang jual gorengan pun jadi saksi mata. Ia lihat darah ayam netes ke mangkok tanah liat sambil suara tangisan anak kecil terdengar dari balik meja.
Bu Marni, Pak Joko, dan Pak Amin nekat nyelidiki lapak Bu Sri tengah malam. Mereka nemuin lubang kecil ditutup kain kafan, dikelilingi boneka reot bertuliskan huruf Jawa kuno.
Dari dalam lubang, ada suara anak kecil minta tolong. “Ibu, tolong… gelap…”
Tiba-tiba Bu Sri muncul, berdiri di lorong pasar, mengenakan kebaya putih. Wajahnya bersinar, tapi matanya tetap hitam.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: YouTube