Tangkapan layar warga di Cianjur usir seorang wanita yang bersuami dua. (YouTube Diyan Chandra)
Dalam beberapa hari terakhir, warganet dihebohkan oleh tayangan video yang memperlihatkan sejumlah warga membakar pakaian milik seorang wanita yang disebut-sebut bersuami dua (poliandri).
Belakangan diketahui, video itu direkam di wilayah Kampung Sodong Hilir, Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Dalam video yang beredar, terlihat warga membakar pakaian wanita berinisial NN (28 tahun) sambil berteriak dan mencari maki NN.
Warga geram dan mengusir NN karena NN yang sudah memiliki suami, menikah lagi secara siri dengan pria lain, sehingga dia sekarang punya dua suami.
Menurut warga, NN masih berstatus sebagai istri sah dari pria berinisial TS (49 tahun). Namun NN kemudian menikah lagi secara diam-diam dengan UA (32 tahun), pria yang lebih muda dari suaminya, pada Desember 2021.
Poliandri yang dilakoni NN ini baru terbongkar pada awal Mei 2022. Berawal dari kecurigaan pihak keluarga TS, akhirnya terbongkar kalau NN memang menikah lagi dengan UA.
Dalam masyarakat dengan latar budaya patriarkis dan agamais, berpoliandri jelas merupakan "dosa" besar bagi seorang perempuan. Sanksi sosial yang sangat berat siap menanti jika ada seorang perempuan yang berani melakukannya. Beda halnya kalau laki-laki yang berpoligami (memiliki istri lebih dari satu).
Indonesia merupakan satu dari sekian banyak negara atau tempat yang masyarakatnya sangat menentang praktik poliandri tersebut. Itulah yang terjadi pada NN, sehingga ia diusir warga dari kampungnya di Cianjur.
Namun, di dunia ini ternyata ada tempat yang "ramah" bagi perempuan untuk punya suami lebih dari satu alias berpoliandri.
Di mana saja? Simak.
Salah satu tempat yang ramah untuk perempuan yang poliandri adalah Tibet, sebuah daerah berstatus otonom di China, yang berada di pegunungan Himalaya.
Di provinsi yang berbatasan dengan Nepal ini, masyarakatnya sudah biasa dengan praktik poliandri. Bahkan, pernikahan poliandri ini sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.
Poliandri di Tibet biasanya melibatkan satu wanita dengan dua atau lebih laki-laki yang berstatus saudara kandung (abang beradik). Kepala keluarga dalam rumah tangga tersebut adalah lelaki tertua sampai ia meninggal. Mereka bahkan tinggal satu atap bertiga.
Dalam menjalani bahtera rumah tangga, si wanita harus berlaku adil pada suami-suaminya, termasuk dalam hal berhubungan intim.
Anak-anak dari keluarga poliandri ini juga harus diperlakukan adil oleh ayah-ayah mereka, walau pun masing-masing ayah tahu belaka yang mana yang merupakan keturunan biologis mereka.
Sekadar informasi, praktik poliandri tersebut masih berlaku sampai sekarang, meskipun jumlah pelakunya semakin ke sini semakin berkurang.
Masih di kawasan Pegunungan Himalaya, ada Suku Mosuo yang juga mempraktikkan poliandri lewat tradisi "nikah jalan".
Disebut "nikah jalan" maksudnya adalah para pria akan mendatangi rumah-rumah yang ditempat wanita yang sudah bersuami. Jika diizinkan masuk, pria itu boleh tidur bersama wanita itu dan menjadi suaminya.
Di bukit Nilgiri, India Selatan, ada suku yang juga melakoni praktik poliandri selama berabad-abad. Suku tersebut adlaah Suku Toda.
Sama seperti yang dilakukan masyarakat di Tibet, masyarakat Suku Toda juga mempraktikkan poliandri fraternal (laki-laki bersaudara berbagi istri).
Seorang perempuan yang menikahi seorang laki-laki, secara otomatis ia juga akan bersuamikan adiknya. Istilahnya, "nikah 1 dapat 2".
Dalam penentuan ayah dari anak yang lahir, dilakukan secara bergantian. Bayi pertama yang lahir akan menjadi anak dari suami pertama. Kemudian untuk bayi kedua yang lahir, akan menjadi anak suami kedua.
Namun, hal tersebut kini tidak lagi dipraktikkan karena sering terjadi pembunuhan terhadap bayi yang baru lahir.
Di Kenya dan Tanzania, Afrika, ada Suku Maasai yang masyarakatnya juga mempraktikkan poliandri.
Bedanya, jika perempuan Suku Maasai menikah dengan seorang pria, maka ia juga akan bersuamikan teman-teman sebaya dari suaminya.
Artinya, teman-teman suaminya akan membiarkan istrinya ditiduri oleh teman-temannya. Anak-anak yang lahir dari wanita itu tetap akan menjadi anak dari sang suami.
Namun, praktik ini kini sudah ditinggalkan oleh Suku Maasai.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: