Ilustrasi memberi sumbangan.
INDOZONE.ID - Tradisi nyumbang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Banyumas, berfungsi sebagai bentuk gotong royong untuk membantu tetangga yang mengadakan hajatan. Di daerah ini, terdapat tiga jenis nyumbang: pinggelan, arisan, dan nyumbang biasa, masing-masing dengan aturan dan waktu pelaksanaan yang berbeda.
Meski tidak ada aturan tertulis, nyumbang dianggap sebagai kewajiban sosial. Mereka yang tidak berpartisipasi sering kali menghadapi sanksi sosial, termasuk dikucilkan oleh tetangga dan komunitas.
Sistem Nyumbang Pinggelan: Sumber Potensi Konflik
Salah satu bentuk nyumbang yang sering menimbulkan konflik adalah sistem pinggelan. Dalam sistem ini, sumbangan dilakukan sebelum hajatan, dan barang yang disumbangkan diharapkan dikembalikan saat penyumbang mengadakan hajatan sendiri. Ketidakpatuhan dalam memenuhi harapan ini dapat menyebabkan ketegangan antarwarga.
Banyak warga merasa terbebani, terutama yang memiliki kondisi ekonomi kurang baik. Namun, rasa pekewuh—perasaan sungkan atau malu—mendorong mereka untuk tetap berpartisipasi meski menghadapi kesulitan. Buku catatan sumbangan digunakan untuk mencatat apa yang diberikan, memastikan barang dapat dikembalikan sesuai kesepakatan.
Konflik Sosial yang Muncul
Konflik dalam tradisi nyumbang sering kali muncul akibat ketidakmampuan sebagian orang untuk mengembalikan sumbangan. Masyarakat Banyumas menyadari bahwa, meskipun nyumbang menunjukkan solidaritas, beban ekonominya kadang sulit dihindari.
Perbedaan pandangan tentang nyumbang juga menjadi sumber konflik. Beberapa orang melihatnya sebagai kewajiban sosial, sementara yang lain merasa terbebani. Sistem pinggelan, yang seringkali melibatkan nilai sumbangan lebih besar dibandingkan bentuk nyumbang lainnya, kerap memicu perdebatan mengenai kemampuan ekonomi individu.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Sedekah Bumi: Bentuk Syukur atas Berkah dari sang Pencipta
Solusi untuk Mengatasi Konflik
Untuk mengurangi kesalahpahaman, setiap transaksi nyumbang dicatat dalam buku catatan. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada yang merasa dirugikan dalam proses timbal balik. Namun, buku catatan tidak selalu efektif; konflik masih dapat muncul jika terjadi kesalahan dalam pengembalian sumbangan atau jika catatan antara dua pihak tidak cocok.
Masyarakat Banyumas berupaya menyelesaikan konflik melalui kompromi. Dengan komunikasi yang baik, diharapkan ketegangan dalam tradisi nyumbang dapat diminimalisir. Namun, perasaan pekewuh tetap mengintai, membuat beberapa individu merasa tertekan untuk ikut berpartisipasi meski tidak mampu.
Harapan untuk Tradisi Nyumbang
Meskipun sering menimbulkan konflik, masyarakat Banyumas berharap tradisi nyumbang dapat bertahan. Mereka percaya, dengan sedikit penyesuaian, tradisi ini dapat berlangsung tanpa membebani. Nyumbang dipandang sebagai cara mempererat hubungan sosial, namun masyarakat perlu menemukan solusi agar tradisi ini lebih adil dan tidak memberatkan.
Baca Juga: Jalur Wangon-Lumbir Banyumas: Mitos Mistis di Balik Jalur Maut Seribu Tikungan
Walaupun berbagai masalah muncul, tradisi nyumbang tetap menjadi bagian dari identitas masyarakat Banyumas. Harapannya, tradisi ini tetap eksis dengan aturan yang lebih jelas dan tidak menimbulkan konflik di masa mendatang.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Khasanah, S. K., Santoso, J., & Dadan, S. (2022). Konflik Da